Aku Berfikir, Maka Aku Ada

Sunday, November 6, 2016

PENDIDIKAN PADA ZAMAN KEKHALIFAHAN TURKI USMANI DAN SAFAWI




Makalah
PENDIDIKAN PADA ZAMAN KEKHALIFAHAN
TURKI USMANI DAN SAFAWI

BAB I
PENDAHULUAN
KERAJAAN TURKI USMANI
A.    Latar belakang Berdirinya Kekhalifahan Turki Usmani
Sejarah mencatat, bahwa setelah terjadinya penyerangan tentang mongol yang di pimpin Hulagu Khan pada tahun 1258, kekuassan Islam yang bepusat di Baghdad mengalami kehancuran yang amat signifikan. Kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastic. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Keadaan ini semakin diperparah oleh serangan dari Timur Lenk yang datang menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Namun demikian, kehancuran dunia Islam tidak merata. Diseluruh dunia Islam, masih terdapat pilar-pilar penyangga yang melanjutkan kejayaan dunia Islam. Pilar tersebut adalah kekhalifahan Turki Usmani di Turki, kekhalifahan Mughal di India, dan kekhalifahan Safawi di Persia. Di antara tiga kekhalifahan Islam yang muncul pada abad pertengahan ini, kekhalifahan Turki Usmani termasuk yang pertama berdiri dan juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibandingkan dua kerajaan lainnya.[1]
Secara historis, bangsa Turki Usmani berasal dari keluarga Qabey, salah satu kabilah Al-Ghaz Al-Turky, yang mendiami Turkistan.[2] Mereka masuk Islam ketika abad ke 9 atau ke 10, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Akibat ada tekanan tentara Mongol yang terus merangsek dan memburu suku tersebut, akhirnya mereka pindah ke arah barat hingga mereka bergabung dengan saudara keturunan, yakni orang Turki Saljuq, di dataran tinggi Asia Kecil.[3] Kekhalifahan Usmani didirikan oleh bangsa Turki dari Qabilah Oguz yang menguasai daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak.
Sejak itulah kerajaan Usmani dinyatakan berdiri dengan pimpinan pertamannya Usman, yang selanjutnya disebut sebagai Usman I (1300-1326). Pimpinan kekhalifahan Turki ini selanjutnya dipegang oleh Orkhon (1326-1359).
Secara umum, para khalifah Usmani sebagaimana tersebut di atas, banyak memanfaatkan masa kekuasaannya untuk memperluas wilayah kekuasaan, membangun militer, dan pemerintahan yang kuat. Keadaan ini sebuah program utama, mengingat cara giografis dan politis, kekhalifahan ini berhadapan dengan kekausaan Eropa yang setiap saat dapat menghancurkan kekhalifahan Usmani. Ketika Usmani I berkuasa misalnya, kekuasaan khalifah Usmani dapat diperluas hingga ke daerah perbatasan Bizantium dan menahlukkan kota Brossa.

B.     Rumusan pembahasan
1.      Bagaimana sejarah kerajaan Turki Utsmani?
2.      Bagaimana pendidikan Pada Masa Turki Utsmani?
3.      Bagaimana sistem Pengajaran di Turki?
4.      Siapakah ulama-ulama yang Termashur Pada Masa Turki Utsmani?
5.      Bagaimana perpustakaan Pada Masa Turki Utsmani?
6.      Bagaimana sejarah kerajaan Syafawi?
7.      Bagaimana keadaan Sistem Pendidikan pada masa kerajaan Syafawi?

C.    Tujuan pembahasan
1.         Mengetahui sejarah kerajaan Turki Utsmani
2.         Mengetahui pendidikan Pada Masa Turki Utsmani
3.         Mengetahui sistem Pengajaran di Turki
4.         Mengetahui ulama-ulama yang Termashur Pada Masa Turki Utsmani
5.         Mengetahui perpustakaan Pada Masa Turki Utsmani
6.         Mengetahui sejarah kerajaan Syafawi
7.         Mengetahui keadaan Sistem Pendidikan pada masa kerajaan Syafawi


BAB II
PEMBAHASAN
KERAJAAN TURKI UTSMANI
A.    Sekilas Tentang Kerajaan Turki Utsmani
Pendiri bangsa ini adalah Bangsa Turki dan kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina dalam masa waktu sekitar tiga abad, mereka pindah ke-Turkistan Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke 9 atau ke 10 di bawah pimpinan Ortoghol. Mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin, Sultan Seljuk yang kebetulan berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin memperoleh kemenangan. Atas jasa baik mereka itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukut sebagai Ibu Kota.
Sebelum meninggal, Utsman menunjuk (untuk menggantikan posisinya) yang lebih muda dari pada kedua anaknya, Orkhan yang berusia 42 tahun, yang lebih dididik seorang prajurit dibawah pengawasan ayahnya, dan telah menunjukan kemampuannya didalam banyak peperangan, terutama didalam penaklukan Brusa.
Kerajaan Utsmani sangat gencar melakukan ekspansi guna meluaskan kekuasaannya, sehingga pada masa Orkhan sebagian dari wilayah Eropa telah ditundukan. Kerajaan ini telah mencapai gemilang bermula sejak awal abad ke 16 sewaktu Salim mengalahkan kekuatan Syafawi dan meluaskan wilayah keselatan sampai Mesir dan Hijaz. Kawasan ini memiliki arti penting dalam kehidupan keagamaan umat Islam secara umum.
Wilayah kekuasaan Utsmani sejak abad ke 16 sangatlah luas, membentang dari Budepest Yaman, dibagian selatan dan dari Basrah dibagian timur hingga ke Aljajair dibagian barat itu, dibagi dalam beberapa provinsi yamg masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur atau pasha. Dibagian Utara sampai abad ke 17, Turki Utsmani menikmati masa keemasan. Kekuatan militer Utsmani yang sangat tangguh menunjukan stabilitas kekuasaan. Kejayaan Utsmani mulai kelihatan pudar setelah sultan sulaiman meninggal dunia, yang mengakibatkan terjadinya perebutan kekuasaan antara putra-putranya.
Pada awal abad ke 18, Turki Utsmani berusaha mengembalikan kejayaan dengan melakukan reform yang sangat gencar. Bahkan Sultan Salim III (w. 1807) membuka sejumlah kedutaan Utsmani di Eropa. Kemudian Mahmud II (w. 1839) memperkenalkan berbagai lembaga pembaharuan yang banyak diilhami dari Barat, termasuk pendidikan, militer, ekonomi dan hukum. Priode ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai priode “Reorganisasi”. Berbagai usaha pembaharuan terus dilakukan oleh orang-orang Turki, baik dari kalangan ulama, kaum muda, cendikiawan maupun birokrat hingga abad ke 20.
Kerajaan Utsmani yang menjadi simbol Islam akhirnya hilang dari peredaran dunia dengan dihapusnya gelar khalifah tersebut. Dibawah kekuasaan Musthafalah pengaruh kekuasaan Sultan berakhir ditahun 1922, dan segera setelah itu khalifah sebagai institusi agamapun dihapus sehingga Musthafa sebagai pemimpin besar menjadi presiden pertama dari republik Turki baru. Dengan demikian berakhirlah kehidupan panjang dan seluruh kebesaran seluruh pemerintahan baru.[4]
B.     Pendidikan Pada Masa Turki Utsmani
Setelah mesir jatuh dibawah kekuasaan Utsmaniyah Turki, lalu Sultan Salim memerintahkan, supaya kitab-kitab diperpustakaan dan barang-barang yang berharga di Mesir dipindahkan ke Istanbul. Anak-anak Sultan Mamluk, Ulama-Ulama, Pembesar-Pembesar yang berpengaruh di Mesir, semuanya dibuang ke Istambul, setelah mengundurkan diri sebagai khalifah dan menyerahkan pangkat khalifah itu kepada Sultan Turki.
Dengan berpindahnya ulama-ulama dan kitab-kitab perpustakaan dari Mesir ke Istanbul, maka Mesir menjadi mundur dalam ilmu pengetahuan dan pusat pendidikan berpindah ke Istanbul, tempat kedudukan Sultan dan Khalifah dan Istambullah yang menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan saat itu.
Selain itu Sultan Salim mengumpulkan kepala-kepala perusahaan yang termashur di Mesir berjumlah kurang lebih 1000 orang. Mereka semua dipindahkan ke Istambul, Mesir terpaksa ditutup. Itulah salah satu sebab mundurnya perusahaan diMesir pada masa Utsmaniyah Turki.
Setelah Sultan Salim wafat, lalu digantikan oleh anaknya Sultan Sulaiman Al-Qanuni (926-974 H). Pada masa Sultan Sulaiman itu kerajaan Utsmaniyah sampai kepuncak kebesaran dan kemajuan yang gilang gemilang dalam sejarahnya. Laut putih tengah, laut hitam, dan laut merah semua dalam kekuasaannya. Luas negaranya dari Makkah ke Budapes dan dari Baghdad ke Aljazair. Tetapi sesudah wafat Sultan Sulaiman kerajaan Utsmaniyah mulai mundur sedikit demi sedikit.
Pada masa Utsmaniyah Turki pendidikan dan pengajaran mengalami kemunduran, terutama diwilayah-wilayah, seperti Mesir, Baghdad dan lain-lain. Yang mula-mula mendirikan madrasah pada masa Utsmaniyah Tuki ialah Sultan Orkhan (wafat tahun 761 H. = 1359 M.). Kemudian diikuti oleh Sultan-Sultan keluarga Utsmaniyah dengan mendirikan madrasah-madrasah, yang didirikan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Sultan-sultan pada masa Utsmaniyah banyak mendirikan masjid-masjid dan madrasah-madrasah terutama di Istambul dan Mesir. Tetapi tingkat pendidikan itu tidak mengalami perbaikan dan kemajuan sedikitpun. Tiap-tiap orang bebas membaca dan mempelajari isi kitab itu. Bahkan banyak pula ulama, guru-gru, ahli sejarah dan ahli syair pada masa itu. Tetapi mereka-mereka itu hanya mempelajari kaidah-kaidah ilmu-ilmu Agama dan Bahasa Arab, serta sedikit ilmu berhitung utuk membagi harta warisan dan ilmu miqat untuk mengetahui waktu sembahyang. Mereka tidak terpengaruh oleh pergerakan ilmiyah di Eropa dan tidak mau pula mengikuti jejak zaman kemajuan Islam pada masa Harun Ar-Rasyid dan masa Al-Makmun, yaitu masa keemasan dalam sejarah Islam. Demikianlah keadaan pendidikan dan pengajaran pada masa Utsmaniyah Turki, sampai jatuhnya sultan /khalifah yang terakhir tahun 1924 M.[5]
Sistem pengajaran yang dikebangkan pada Turki Utsmani adalah menghafal matan-matan meskipun murid-murid tidak mengerti maksudnya, seperti menghafal Matan Al-Jurmiyah, Matan Taqrib, Matan Al-Fiyah, Matan Sultan, dan lain-lain. Murid-murid setelah menghafal matan-matan itu barulah mempelajari syarahnya. Karena pelajaran itu bertambah berat dan bertambah sulit untuk dihafalkannya. Sistem pengajaran diwilayah ini masih digunakan sampai sekarang. Pada masa pergerakan yang terakhir, masa pembaharuan pendidikan Islam di Mesir dan Syiria (Tahun 1805 M) telah mulai diadakan perubahan-perubahan di sekolah-sekolah (Madrasah) sedangkan di Masjid masih mengikuti sistem yang lama.[6]
Badri Yatim memberikan gambaran tentang kondisi ilmu pengetahuan pada masaTurki Utsmani sebagai berikut.
“Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Utsmani lebih banyak mefokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sedangkan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka kelihatan tidak begitu menonjol. Karna itulah dalam khazanah Intelektual Islam kita kita tidak menemukan ilmuan terkemuka dari Turki Usmani. Namun demikian mereka banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan masjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammmadi, atau Masjid Jami Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Agung Sulaiman Dan Masjid Abi Ayyub Al-Anshari. Masjid-masjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid asalnya gereja Aya Sofia. Hiasan kaligrafi itu dijadikan penutup gambar-gambar kristiani yang ada sebelumnya.”[7]
Meskipun pada masa Turki Utsmani pendidikan Islam kurang mendapat perhatian yang serius dan juga terhambat kemajuannya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tiap-tiap masa pasti akan memunculkan tokoh-tokoh atau ulama-ulama kenamaan. Walaupun jumlah ulama pada masa itu tidak sebanyak pada masa Abbasiyah yang merupakan puncak keemasan Islam.[8]
C.    Sistem Pengajaran di Turki
Sistem pengajaran pada masa Turki seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu dengan cara menghafal matan-matan, seperti menghafal Matan Ajrumiyah, Matan Taqrib, Matan Alfiyah, Matan Sullan dan lain-lain.
Adapun tingkat-tingkt pengajaran di Turki adalah sebagai berikut:
1.      Tingkat Rendah (S.R.) 5 tahun
2.      Tingkat Menengah (S.M.P.) 3 tahun
3.      Tingkat Menengah Atas (S.M.A.) 3 tahun
4.      Tingkat tinggi (Universitas) 4 tahun
Dikelas IV dan V S.R. diajarkan ilmu Agama jika mendapatkan izin dari orang tua murid. Begitu juga diajarkan agama dikelas III Sekolah Menengah (S.M.P.) jika diminta oleh orang tua murid.
Selain itu ada juga sekolah Imam Chatib (sekolah agama) 7 tahun, 4 tahun pada tingkat menengah pertama dan tiga tahun pada tingkat menengah atas. Murid-murid yang diterima masuk sekolah imam chatib itu ialah murid-murid tamatan S.R 5 tahun. Untuk melanjutkan dari sekolah Imam Chatib didirikan Institut Islam di Istambul pada tahun 1959, dan pengajarannya berlangsung selama 4 tahun.
Dasar-dasar pengajarannya adalah sebagai berikut:
1.      Tafsir
2.      Hadis
3.      Bahasa Arab
4.      Bahasa Turki
5.      Filsafat
6.      Sejarah Kebudayaan Islam
7.      Ilmu Bumi.[9]


D.    Ulama-ulama yang Termashur Pada Masa Utsmaniyah Turki
Ulama-ulama yang termashur pada masa Utsmaniyah Turki diantaranya yaitu:
1.      Syeikh Hasan Ali Ahmad As-Syafi’I yang dimasyhurkan dengan Al-Madabighy,Jam’ul Jawami dan syarah Ajrumiyah (wafat tahun 1170 H. = 1756M.) pengarang hasiyah
2.      Ibnu Hajar Al-Haitsami (wafat tahun 975H. = 1567M.) pengarang Tuhfah.
3.      Syamsuddin Ramali (wafat tahun 1004H. = 1959H.) pengarang Nihayah.
4.      Muhammad bin Abdur Razak, Murtadla Al-Husainy Az-Zubaidy, pengarang syarah Al-Qamus, bernama Tajul Urus (wafat tahun 1205H. = 1790M.)
5.      Abdur Rahman Al-Jabarity (wafat tahun 1240H. = 1825M.), pengarang kitab tarikh mesir, bernama Ajaibul-Atsar Fit-Tarajim Wal-Akhbar.
E.     Perpustakaan Pada Masa Utsmaniyah Turki
Perpustakaan pada masa kemajuan Islam tidak terhitung banyaknya diseluruh Negara Islam, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan khusus. Hampir diseluruh masjid dan madrasah-madrasah ada perpustakaan yang berisi bermacam-macam ilmu, terutama ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab.
Pada masa Utsmaniyah Turki, masa kemunduran pendidikan dan pengajaran Islam, perpustakaan sangat berkurang, hanya terdapat di Istambul dan sedikit di Mesir, Damsyik, Halab, dan Qudus. Jumlah perpustakaan pada masa itu kurang lebih 26 buah, 22 buah di Istambul dan 4 buah diluarnya. Jumlah kitab dalam perpustakaan itu kurang lebih 30.000 kitab.




KERAJAAN SYAFAWI
A.    Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Syafawi
Kerajaan Safawi berdiri setelah kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaan. Kerajaan safawi berasal dari tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Nama Safawiyah diambil dari pendirinya yang berrnama Safi al-Din (1252-1334). Safi al-Din merupakan keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya, dan juga keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, Musa al-Khazim. Gurunya bernama Syekh Taj al-Din Ibrahim Zahidi yang sering dikenal dengan Zahid al-Gilani. Karena prestasinya ia diambil menantu oleh gurunya. Ia mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M.  Safi al-Din mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf menjadi gerakan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria, dan Anatoli.
Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan pada masa kepemimpinan Juneis (1447-1460). Perluasan gerakan ini menimbulkan konflik antara Juneis dan penguasa Kara Koyuntu (Domba Hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik itu Juneid kalah dan diasingkan di suatu tempat. Di tempat baru ia mendapatkan perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK Koyunlu (Domba Putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal didistana Uzun Hasan yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.
Selama dalam pengangsingan ia menghimpun kekuatan untuk beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan, ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara Uzun Hasan. Pada tahun 1459 Juneid mencoba merebut Ardabil tapi gagal. Pada tahun 1460 ia mencoba merebut Sircassia namun gagal dan ia tewas.
Usaha pembentukan dinasti Safawi baru berhasil pada zaman Ismail. Pada tahun 1501 M pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di Shafur. Dan berhasil menaklukan dan mendudukinya Tibris, ibu kota AK Koyunlu. Di kota inilah Ismail memproklamasikan berdirinya dinasti Safawi, dan mengangkat dirinya sendiri sebagai raja pertama, yang sering disebut dengan Ismal I
B.     Keadaan Sistem Pendidikan
Dalam sejarah Islam tercatat bahwa bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga pada masa Kerajaan Safawi tradisi keilmuan terus berlanjut. Dapat dikatakan Kerajan Safawi lebih berhasil dari dua kerajaan Islam lainnya pada masa yang sama, yakni Kerajaan Turki Usmani dan Kerajaan Mughal di India.
Terdapat sejumlah ilmuwan yang selalu hadir di majelis istana, yaitu Baha al-Din al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi seorang filsuf, dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad, seorang filsuf, ahli sejarah, teolog, dan seorang yang pernah mengadakan observasi  mengenai kehidupan lebah-lebah.
Puncak kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan Kerajaan Safawi terjadi pada zaman Syah Abbas I. Hal ini dapat terlihat dari segi fisik material, yaitu keberhasilannya dalam membangun 162 masjid dan 48 pusat pendidikan. Versi lain menyebutkan 162 masjid dan 446 sekolah.
Sekolah dan lembaga pendidikan tersebut sebagian besar dibangun atas perintah inisiatif para kerabat kerajaan. Beberapa diantaranya adalah Dilaram Khanum (nenek dari Syah Abbas II) yang mendirikan madrasah yang disebut small grandmother (nenek kecil) pada tahun 1645-1946, dan madrasah (large grandmother) pada tahun 1647-1648. Kedua madrasah ini diwakafkan sebagai dedikasinya pada pendidikan. Selain itu terdapat pula putri Syah Safi, yakni Maryam Begum yang mendirikan madrasah pada tahun 1703-1704 M. Selanjutnya Shahr Banu, adik perempuan Syah Husain mendirikan madrasah bagi para pangeran.
Selain mendirikan madrasah, dinasti Safawi juga membangun kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang termasuk didalamnya pembangunan dalam bidang filsafat yang berlanjut hinga zaman modern. Sisa-sisa pembangunan ilmu pengetahuan dan peradaban dinasti Safawi ini masih dapat dijumpai di berbagai kota di Iran. Misalya di kota Qum, terdapat berbagai perguruan tinggi, universitas, serta tempat-tempat ilmiah lainnya, juga terdapat berbagai perpustakaan yang menyimpan berbagai karya-karya penelitian ilmiah dan juga manuskrip yang terus diteliti dan dikembangkan oleh pentahkik. Di Mashhad terdapat masjid besar yang mengelilingi makam Imam Ali Ridha (Imam ketujuh Syiah Istna Asyariah) dan terdapat perpustakaan besar yang menyimpan karya ilmiah sekitar satu juta buku. Seluruh buku tersebut dibuatkan mikrofilmnya dan dikubur dibawah tanah, untuk mengantisipasi jika terjadi musibah kebakaran, sehingga buku-buku tersebut dapat diselamatkan.
Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini banyak berkaitan dengan pemikiran teosofi dan filsafat, dan bukan ilmu pengetahuan dalam pengertian secara umum. Pemikiran teosofi dan filsafat tersebut lebih ditujukan sebagai penyatuan antara sufisme Gnostik dan beberapa kepercayaan Syi’i. Hal itu berlangsung selama dua abad, yakni abad ke-16 hingga 17 M. Kajian yang menekankan sufisme Gnostik ini dapat dimengerti karena dinasti Safawi dibangun oleh para tokoh ahli tasawuf. Selanjutnya pemikiran tasawuf itu menjadi dasar bagi pengembangan penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Pembelajaran di dinasti Safawi dengan menanamkan lebih dalam tentang prinsip-prinsip Syi’ah dua belas. Hal itu dilakukan dengan menyusun sebuah konsep tentang filsafat ajaran Syi’ah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Mir Damad dan muridnya yang bernama Mulla Sadra, dengan cara memadukan antara keterangan yang terdapat dalam kitab suci, telogi, dan refleksi untuk merumuskan sebuah versi Syi’i tentang sufisme dan untuk membangun sebuah basis filsafat terhadap kesadaran keagamaan secara individual dan untuk membentuk loyalitas umat Syi’i terhadap para imam. Aliran baru ini menggabungkan antara iluminasionisme Suhrawardi dengan perkataan Ali dan para imam, unsur-unsur filsafat Yunani, dan beberapa ajaran Ibn Arabi. Kebijakan baru ini cenderung mengarah pada tradisi neo-platonik dari para Aristotelian Yunani dan filsafat Muslim. Pada masa ini juga berkembang aliran filsafat Peripatetic yang dekat dengan mazhab Aristoteles dan al-Farabi, serta filsafat Ishraqi yang dekat dengan filsafat Sahrawardi.
Pendidikan di zaman dinasti Safawi juga dibuktikan oleh adanya toleran dan kebebasan berpendapat, walaupun pendapat tersebut tidak sejalan dengan pendapat yang dianut khalifah. Kendati demikian kerasnya indoktrinasi pada masa dinasti Safawi, namun pada periode Syah Abbas II kemerdekaan berpikir atau liberalitas intelektual pernah memperoleh momentumnya. Adanya perbedaan paham yang ada di masyarakat diletakkan dibawah supremasi keadilan. Hal tersebut justru sesuai dengan salah satu prinsip dasar dalam ajaran mazhab Syi’ah yakni prinsip al-adl.
Selain itu pada dinasti Safawi wanita selain memperoleh kebebasan dalam mengekspresikan dan memainkan peranannya dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya juga memperoleh perhatian dalam mendapatkan pendidikan.


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kerajaan turki utsmani merupakan kerajaan yang dipimpin oleh 40 sultan. Pada abad pertengahan memang masa yang paling bersejarah bagi bangsa arab, bahkan kemunduran bagi bangsa barat, dalam segi pandang kerajaan, kekuasaan wilayah adalah yang terpenting. Turki utsmani yang memimpin selama kurang lebih 6 abad memberikan bukti kejayaannya sampai ke Eropa, akan tetapi dari stagnanisasi bangsa utsmani mereka lebih memajukan kemiliteran mereka dari pada pendidikannya, bagi mereka kemiliterannya adalah satu hal yang terpenting yang harus dimiliki leh seorang pemimin, dengan orientasi penalukan konstantinopel, membuat mereka menjadi bersemangat untuk menjadikan kerajaan turki utsmani menjadi symbol kejayaan islam.
Penyimpangan orientasi mereka ini membuat terlena dengan keluasan wilayah sehingga membuat mereka meninggalkan perkembangan pendidikan mereka. Berbeda dengan bangsa Eropa yang telah mengugguli mereka, kemunduran kerajaan turki utsmani ini terlihat dari bagian bagian wilayah yang dikuasai oleh turki utsmani ini mulai tergerak ingin merubah hidupnya menjadi yang lebih baik dan muncul paham kapitalisme individual sehingga sebagian mereka ingin melepaskan diri.  Tampaknya pengaruh barat mulai mendapatkan hasil dengan kelemahan kerajaan turki ini, dan terlahir paham-paham yang ingin membebaskan, sehingga paham turki sendiri tidak dapat menghalangi mereka.







DAFTAR PUSTAKA
http://kerajaansafawiyah.blogspot.co.id/ http://kerajaansafawiyah.blogspot.co.id/
http://wartasejarah.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa.html#!/tcmbckBAB I
http://ahareyy.blogspot.co.id/2013/06/pola-pendidikan-pada-masa-turki-usmani.html





[1]Lihat Ensiklopedi Islam, Vol. 2, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1999), cet. VI, hlm. 4-5.
[2]Lihat Ensiklopedi Islam, Vol. 2, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1999), cet. VI, hlm. 6.
[3]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-daulah al-fathimiyah, (Mesir, 1957), cet. II, hlm. 426.
[4]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) h. 272-274
[5]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989),cet ke.5, h. 164-165
[6]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 276
[7]Badri Yartim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994). 126
[8]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 171
[9]Mahmud Yunus, Perbandingan Pendidikan Modern di Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat, (Jakarta: C.v. Al-Hidayah, 1968), h. 124-125

0 komentar:

Post a Comment