Aku Berfikir, Maka Aku Ada

Sunday, November 6, 2016

Pendidikan pada Zaman Kholifah Islam di Spanyol dan kholifah Fathimiyah





Pendidikan pada Zaman Kholifah Islam di Spanyol dan kholifah Fathimiyah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Islam adalah agama dengan pemeluk terbesar di dunia. Islam pernah mengalami masa-masa keemasan dengan menguasai wilayah tiga perempat bumi ini. Salah satu wilayah yang dikuasai orang Islam yaitu Spanyol (Andalusia). Wilayah yang membuat Islam dikenal di dunia Barat. Wilayah yang mempengaruhi negara-negara Eropa menjadi maju. Eropa bangkit dari keterbelakangannya, kebangkitan itu bukan saja terlihat dalam bidang politik dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kemajuan-kemajuan Islam dan bagian dunia lainnya. Terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi itulah yang mendukung keberhasilan politiknya. Kemajuan-kemajuan Eropa ini tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol.
Dari Spanyol Islam itulah Eropa banyak menimba ilmu pengetahuan. Ketika Islam mencapai keemasannya, kota Cordova dan Granada di Spanyol merupakan pusat-pusat peradaban Islam yang sangat penting saat itu dan dianggap menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu, orang-orang Eropa Kristen, Katolik maupun Yahudi dari berbagai wilayah dan negara banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam disana. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa. Disini pula mereka dapat hidup dengan aman penuh dengan kedamaian dan toleransi yang tinggi kebebasan untuk berimajinasi dan adanya ruang yang luas untuk mengekspresikan jiwa-jiwa seni dan sastra.
Secara umum munculnya peradaban Islam telah dimulai sejak lahirnya agama itu sendiri kemudian mengalami perkembangan pada saat Daulah Umayyah berkuasa dan mencapai puncak kejayaan pada masa Daulah Abbasiyah. Daulah Fatimiyah hadir pada abad kesepuluh, akhir masa Daulah Abbasiyah bersamaan dengan daulah-daulah kecil lainnya yang mulai melepaskan diri dari kekuasaan Daulah Abbasiyah. Daulah Fatimiyah merupakan salah satu Daulah Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati. Dinasti Fatimiyyah berdiri tahun 297-567/909-1171 semula di Afrika Utara, kemudian di Mesir dan Syiria. Dinasti ini beraliran Syi’ah Isma’iliyyah, dan pendiriya, yakni Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syria ke Afrika Utara menisbahkan nasabnya hingga Fatimah binti Rasulullah saw., istri Ali ibn Abi Thalib. Oleh karenanya dinamakan dinasti Fatimiyyah, walaupun kalangan Sunni meragukan asal-usulnya sehingga mereka menamakannya al-Ubaidiyyun sebagai ganti dari Fatimiyyun. Ubaidillah dapat mengalahkan para penguasa di Afrika Utara, yakni Aghlabiyah di Aljazair, Rustamiyah yang Khawarij di Tahart, dan Idrisiyyah di Fez Maroko. Pusat pemerintahannya pertama kali ialah di al-Mahdiyyah, sekitar Qayrawan, dan mengembangkan sayapnya di samping ke barat juga ke timur, serta menguasai Mesir. Di negeri itulah mereka mendirikan kota baru yang bernama Kairo, al-Qahirah, berarti yang berjaya, atas prakarsa panglima perangnya, Jauhar as-Siqili (as-Saqali), seorang keturunan dari Pulau Sicilia di Laut Tengah yang pernah dikuasai oleh Islam, kemudian menundukkan Palestina dan Syria.










B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana sejarah islam di spanyol ?
2.      Bagaimana keadaan pendidikan di spanyol ?
3.      Bagaimana Perkembangan Pendidikan Islam di Spanyol ?
4.      Bagaimana Sejarah Dinasti Fathimiyah ?
5.      Bagaimana Pendidikan Dinasti Fatimiyah ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Sejarah Islam di spanyol
2.      Untuk mengetahui keadaan Pendidikan di Spanyol
3.      Untuk mengetahui Perkembangan Pendidikan Islam di Spanyol
4.      Untuk mengetahui Sejarah Dinasti Fathimiyah
5.      Untuk mengetahui Pendidikan Dinasti Fathimiyah



















BAB II
PEMBAHASAN

       I.            Zaman Kekhalifahan Islam di Spanyol
A.    Sejarah masuknya islam dispanyol
Islam masuk ke spanyol pada tahun 93 H, bertepatan dengan tahun 711 M dibawah pimpinan tariq bin ziyad, dengan tujuan secara umum untuk membawa rahmat bagi seluruh alam, dan secara khusus untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat didaerah ini. Hal ini dilakukan, karena pada saat islam masuk ke spanyol, keadaan sosial, politik, dan ekonomi spanyol dalam keadaan menyedihkan, dan kejahatan sudah lama berkecamuk spanyol merupakan provinsi kekaisaran romawi. Ketika ke kaisaran romawi diserbu oleh bangsa teotonik, harapan dan keadaan yang lebih baik sirna, bahkan keadaannya semakin memburuk. Negeri itu terpecah menjadi sejumlah negara keil. ketidak toleran agama dari penguasa gothik yang menguasai spanyol waktu itu membuka jalan bagi penaklukan spanyol oleh orang-orang islam. Mereka tidak bisa toleran terhadap agama lain kecuali kristen. Dispanyol banyak penduduk yahudi yang sangat tertekan oleh raja-raja, kepala suku, bangsawan, dan pendeta gothik mereka berusaha mengangkat senjata, tetapi mereka dijadikan budak kristen. Dalam keadaan masyarakat yang demikian itu, wajarlah jika rakyat menyambut masuknya islam kespanyol, masyarakat didaerah mendukungnya. Selama islam berada dispanyol telah memainkan peranan besar, baik dalam bidang kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban. Ilmu-ilmu agama, filsafat, sains, seni, musik, bahasa, dan sastra mengalami kemajuan, dan perkembangan yang pesat dispanyol. Demikian pula bangunan fisik, seperti istana raja, gedung pusat pemerintahan, jembatan, pusat-pusat kegiatan pendidikan, penelitian, dan kesenian mengalami kemajuan yang pesat.[1]
B.     Keadaan Pendidikan di Spanyol
Sejalan dengan berbagai kebijakan yang membawa ke majuan dalam ilmu pengetahuan, kebudayaaan , dan peradaban, terjadi pula kemajuan dalam bidang pendidikan. Hal ini terjadi karena antara pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan memiliki hubungan fungsional. Dari satu sisi pendidikan mendorong kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban, di sisi lain produk (penerapan) ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban ini memberi pengaruh terhadap kemajuan pendidikan.
            Keadaan pendidikan di spanyol antara lain ditandai dengan berdirinya masjid dan lembaga-lembaga pendidikan lainya. Pendidikan dispanyol, baik tingkat dasar maupun menengah pada umumnya diberikan di masjid-masjid. Masjid menjadi basis sentral dalam ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Di masjid itulah para ulama dengan ulama, para ulama dengan para murid, dan murid dengan murid bertemu untuk saling memberi dan menerima ilmu pengetahuan, berdialog, diskusi, dan perdebatan ilmiah.
            Keadaan pendidikan di spanyol selanjutnya ditandai oleh perkembangan dalam bidang kurikulum. Fiqih merupakan mata pelajaran yang pokok dan mendominasi kurikulum pada pendidikan formal, dan penetapan kurikulum harus mendapat persetujuan dari pemerintah. Selain fiqih berkembang pula studi islam lainnya. Serta ilmu umum lainnya. Pendidikan islam yang berlangsung dispanyol ini tidak hanya memberi pengaruh terhadap kemajuan umat islam sendiri, melainkan untuk kemajuan dunia pada umumnya.[2]
C.     Perkembangan Pendidikan Islam di Spanyol
1.    Mendirikan Lembaga Pendidikan
Menurut keterangan Amir Ali, sebagaimana yang disitir oleh Mahmud Syah, bahwa ketika umat Islam berkuasa di Spanyol telah mendirikan madrasah-madrasah yang tidak sedikit julmahnya guna menopang pengembangan pendidikannya. Madrasah-madrasah itu tersebar di seluruh daerah kekuasaan Islam, antara lain: di Cordova, Seville, Toledo, Granada dan lain sebagainya. Meskipun terdapat persaingan antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, namun hubungan budaya antara Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung Timur, dan sebaliknya, dengan membawa buku-buku dan gagasan cerdas. Sejumlah sarjana-sarjana muslim juga telah dikirim ke dataran India dan Cina untuk meningkatkan hubungan dan kerjasama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pada kesempatan yang sama, banyak kalangan terpelajar dan penguasa dari Jerman, Perancis, Italia, India yang belajar ke Spanyol. Pada saat madrasah berkembang pesat di berbagai belahan dunia Islam, terutama di wilayah Timur, istilah madrasah masih tidak dikenal di Andalus. Sistem pengajaran diselenggarakan di masjid-masjid. Charles Stanton, seperti dikutip oleh Hanun, mengungkapkan alasan kenapa madrasah tidak dikenal di Andalus, hal ini disebabkan karena mayoritas muslim di Andalus menganut mazhab Maliki yang konservativ dan tradisional.  Penguasa-penguasa yang mengatur wakaf tidak memberikan kesempatan kepada para dermawan untuk memengaruhi pemilihan dan pergantian guru, syekh atau pengganti-penggantinya. Atau mengajukan dirinya untuk menjadi pengawas wakaf.
Pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam tergantung kepada keluarga penguasa, terutama kholifah yang menjadi pendorong utama bagi kegiatan keilmuan di Granada, Sevile, dan Cordova. Fikih merupakan inti kurikulum, namun mereka lebih menekankan kepada mazhab Maliki daripada mazhab-mazhab lainnya. Hal ini juga berlaku pada saat menentukan tenaga pengajar dan kurikulum yang akan diterapkannya, peran kholifah dan penasihat-penasihat dekatnya amat dominan. Karena kholifah dan keluarganya amat menentukan dalam penyediaan dana dan arah-arah kegiatan lembaga-lembaga pendidikan di Andalusia, maka maju dan mundurnya lembaga-lembaga tersebut amat tergantung kepada interest patronase penguasa terhadap kegiatan keilmuan Islam. Kekuatan intelektual muslim Spanyol sebenarnya baru dimulai pada abad kesepuluh, tetapi kontribusinya yang sangat signifikan baru dilakukan selama periode paruh terakhir abad kesebelas hingga pertengahan abad ketiga belas. Pada saat ini spanyol telah memantapkan bangunan fondasinya dalam dunia ilmu pengetahuan. Yang telah dirintisnya beberapa waktu sebelumnya, termasuk diantaranya adalah dengan mulai masuknya Islam sejak abad ke VII. Berbagai khazanah Islam mulai diperkenalkan kepada dunia Eropa, sejalan dengan meningkatnya arus mahasiswa dan cendekiawan dari Eropa Barat yang belajar di sekolah-sekolah tinggi dan universitas Spanyol dan melalui terjemahan-terjemahan karya-karya muslimyang berasal dari sumber-sumber (bahasa) Arab. Hal inilah yang telah merangsang tumbuh dan berkembangnya teori dan praktik dunia kedokteran, modifikasi doktrin-doktrin teologi, memprakarsai dunai baru dalam bidang matematika, menghasilkan kontroversi baru dalam bidang teologi dan filsafat.
2.      Pengembangan Perpustakaan
Bagaimanapun juga, kelancaran proses pendidikan sangat tergantung dari prasarana-prasarana yang mendukung. Diantaranya adalah fasilitas perpustakaan. Untuk itulah  Khalifah-khalifah Umayah di Spanyol telah berupaya menyisihkan dana dari kas negara untuk membangun berbagai sarana pendukung tersebut secara intensif. Ini dapat dilihat dari upaya khalifah  Abdurrahman III  (912-961 M) membangun  perpustakaan dikota Granada  hingga mencapai 600.000 jilid buku. Upaya yang sama juga dilakukan oleh khalifah Al-Hakam II  (961-976 M) tak mau kalah dengan upaya yang dirintis bapaknya. Ia juga membangun perpustakaan yang terbesar ( Greatest Library) di seluruh Eropa pada masa itu dan pada masa-masa sesudahnya. Ambisi dan ketertarikan para khalifah ini telah diakui oleh ahli-ahli sejarah Barat dengan mengatakan bahwa,Al-Hakam II begitu juga dengan pendahulunya,kurang berambisi dan tidak menginginkan peperangan. Mereka lebih tertarik dan gemar ketenangan. Waktunya kebanyakan diperuntukkan dalam mendalami kesusasteraan. Para wakil-wakilnya ditugaskan untuk menulis dan mencari buku-buku di dunia Timur ( Baghdad),atau melakukan sejumlah penerjemahan karya-karya klasik. Bahkan ia sendiri sering menulis surat pada setiap penulis untuk menjual karangannya tersebut kepada khalifah di Spanyol. Ia tak segan-segan mengeluarkan dana yang cukup besar bagi usahanya itu,yang penting ia bisa memiliki karya-karya yang ada. Dengan koleksi-koleksi tersebut kemudian ia serahkan diperpustakaan,baik perpustakaan pribadi maupun perpustakaan umum,untuk dapat dibaca oleh setiap orang. Dengan prasarana inilah menjadikan Cordova secara khusus dan Spanyol secara umum berkembang dengan pesatnya. Ambisi untuk mendirikan perpustakaan,bukan hanya dilakukan oleh para khalifah saja. Akan tetapi,ambisi tersebut juga telah dimiliki oleh setiap masyarakat Spanyol Islam. Mereka mengoleksi berbagai buku bukan untuk kepentingan dirinya saja,akan tetapi ia wakafkan untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum,seperti yang dilakukan oleh Abdul Mutrif,seorang hakim di Cordova. Ia telah mengoleksi berbagai buku-buku langka. Ia juga mempekerjakan enam orang karyawan untuk menyalin buku-buku tersebut sehingga dapat disebarluaskan pada masyarakat umum. Ia keluarkan biaya secara pribadi yang tak sedikit untuk melaksanakan ambisinya tersebut. Besarnya perhatian umat Islam di Spanyol dalam penyediaan sarana perpustakaan perlu rasanya diacungkan jempol dan ditiru oleh umat Islam didaerah lainnya. Ini dapat dilihat dengan berdirinya perpustakaan Khazanatul Humits-Tsani  di Andalusia. Perpustakaan ini memiliki buku sebanyak 400.000 jilid. Disamping perpustakaan-perpustakaan lain yang didirikan oleh perorangan untuk dimanfaatkan secara umum,bahkan mereka berlomba-lomba untuk mendirikannya. Para wanita pun tak ketinggalan,mereka berlomba-lomba untuk mengumpulkan buku-buku,demikian pula para budak. Dengan fenomena ini tidaklah heran jika dalam waktu relatif singkat pertumbuhan perpustakaan Spanyol Islam laksana jamur. Kondisi ini pula yang ikut mendukung bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Spanyol,sehingga dengan sekejap telah menyulap daerah Spayol dari negara kaya, makmur, dan maju, disamping kemerdekaan ilmiah yang dikembangkan. Kondisi ini terlihat dari peraturan yang berlaku saat itu. Ilmu pengetahuan bukan hanya milik orang merdeka,tetapi juga merupakan milik para budak. Hubungan yang harmonis ini menjadi daya penggerak tersendiri bagi kemajuan pendidikan yang diperkenalkan Spanyol Islam.

    II.            Zaman kekhalifaan fathimiyah
A.    Sejarah Dinasti Fathimiyah
Wilayah kekuasaan Daulah Fatimiyah (909 M-1171 M) meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Berdirinya Daulah Fatimiyah dilatarbelakangi oleh melemahnya Daulah Abbasiyah. Ubaidilillah Al-Mahdi mendirikan Daulah Fatimiyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Daulah Fatimiyah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan ilmu pengetahuan. Daulah Fatimiyah berakhir setelah al-Adid, khalifah terakhir Daulah Fatimiyah jatuh sakit. Shalahuddin al-Ayyubi, wazir Daulah Fatimiyah menggunakan kesempatan tersebut dengan mengakui kekuasaan khalifah Abbasiyah, al-Mustahdi. Peninggalan dinasti ini meliputi Masjid al-Azhar yang sekarang terkenal dengan Universitas al-Azhar, bab al-Futuh (Benteng Futuh), dan Masjid al-Ahmar di Cairo, Mesir. Daulah ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah bin Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri daulah ini merupakan cucu Ismail bin Ja’far ash-Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh. Setalah Imam Ja’far ash-Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua cabang. Cabang pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedangkan sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail bin Muhammad al-Maktum sebagai Imam Syi’ah yang ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini dinamakan dengan Syi’ah Ismailiyah, yaitu tidak menampakkan gerakannya secara jelas sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah Ismailiyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latarbelakang berdirinya Daulah Fatimiyah di Afrika dan kemudian berpindah di Mesir. Sebelum Abdullah bin Maimun wafat pada tahun 874 M, ia menunjuk pengikutnya yang paling bersemangat yaitu abdullah Al-Husain sebagai pemimpin Syi’ah Ismailiyah. Ia adalah orang Yaman asli, sampai dengan abad ke Sembilan ia mengklaim diri sebagai wakil al-Mahdi. Ia menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar, khususnya dari kalangan Khitamah menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, yaitu Ibrahim bin Muhammad, berusaha merekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah putranya dan pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah Al-Husain menulis surat kepada Imam Ismailiyah, yaitu Sa’id bin Husain as-Salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah. Sa’id mengabulkan undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunisia, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah pada tahun 909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabiyah yang terakhir, yaitu Ziyadatullah. Sa’id kemudian memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar “Ubaidillah al-Mahdi”. Dengan demikian terbentuklah pemerintahan Daulah Fatimiyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi sebagai Khalifah pertamanya. Obsesi yang tersirat dalam pendirian Daulah Fatimiyah yang terpenting adalah mencoba menguasai pusat dunia Islam: yaitu Mesir. Hal yang mendorong mereka untuk menguasai Mesir tersebut adalah faktor "Ekomomi" dan "Politik". Ditinjau dari faktor ekonomi, Mesir terletak di daerah yang alamnya sangat subur dan menjadi daerah lintas perdagangan yang strategis, yaitu perdagangan ke Hindia melalui laut Merah, ke Italia dan Laut Tengah Barat, ke kerajaan Bizantium.

B.     Lembaga Pendidikan Dinasti Fatimiyah
Perkembangan kebudayaan Islam pada masa ini mencapai kondisi yang sangat mengagumkan. Hal ini disebabkan berkembangnya penerjemahan dan penerbitan sumber-sumber pengetahuan dari bahasa asing seperti bahasa Yunani, Persia, dan India ke dalam Bahasa Arab yang banyak mendorong para wazir, sultan, dan ‘umara untuk melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan sastra. Diantara lembaga-lembaga pendidikan pada dinasti Fathimiyah antara lain:
1.                  Masjid Al-Azhar dan Istana
Setelah pembangunan kota Kairo lengkap dengan istananya, Jawhar Al-Siqili mendirikan Masjid Al-Azhar pada tanggal 17 Ramadhan 359 H (970 M). Masjid ini selesai dibangun pada tahun 361 H (972 M),  merupakan masjid pertama di Kairo dan masjid keempat di Mesir. Hal ini merupakan usaha Dinasti Fatimiyah untuk menyebarkan paham Syi’ah. Nama Al-Azhar diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi Muhammad saw. dan istri Ali bin Abu Thalib (imam pertama Syi’ah).
Di masjid ini disediakan makanan bagi para pelajar miskin, sedangkan harta-harta waqaf yang terdapat disini digunakan untuk memelihara masjid dan untuk beasiswa bagi murid-murid yang belajar di sini. Pelajar miskin yang bertempat tinggal Al-Azhar kadang mencapai sekitar 750 orang, sebagian dari mereka datang dari Persia, Maghrib, dan petani-petani dari Mesir sendiri. Para pelajar disini tidak terikat sesuatu syarat pun, umur, jenis kelamin, atau keahlian. Disini terdapat 2 kategori pelajar, yaitu murid yang terdaftar dan menetap belajar hingga tamat dan murid  pendengar yang tidak terdaftar (seperti pendatang ceramah dan tidak terikat kurikulum). Ilmu-ilmu yang diajarkan seperti syair, nahwu, sastra, falak, hisab, dan kadang diajarkan ilmu kedokteran.
Pada masa Dinasti ini masjid juga menjadi tempat berkumpulnya ulama fiqih khususnya ulama yang menganut madzhab syi’ah ismailiyah juga para wazir dan hakim. Mereka berkumpul membuat buku tentang madzhab Syi’ah Ismailiyah yang akan diajarkan kepada masyarakat. Fungsi para hakim dalam perkumpulan ini adalah untuk memutuskan perkara yang timbul dalam proses pembelajaran madzhab syi’ah tersebut. Dengan tampak jelas lembaga-lembaga menjadi sarana bagi penyebaran ideologi mereka.
Di kemudian hari masjid ini berkembang menjadi sebuah universitas besar pada akhir masa al-Mu’iz li Dinillah al-Fatimi pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975 M) yang sampai sekarang masih berdiri megah. Universitas ini merupakan lembaga pendidikan tertua di dunia Islam, sebagai pioner kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Setelah Daulat Fatimiyah jatuh ke tangan Shalahuddin Al-Ayyubi tahun 567 H (1171 M), melalui Al-Azhar, aliran Syiah yang telah berkembang sekian lama dihilangkan dan diganti dengan aliran Sunni.
2.    Perpustakaan
Perpustakaan juga memiliki peran yang tidak kecil dibandingkan Masjid dalam penyebaran Aqidah Syi’ah Ismailiyah di masyarakat. Untuk itu para khalifah dan wazir memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar pada masa itu. Perpustakaan terbesar yang dimiliki dinasti Fathimiyah ini diberi nama Dzar Al-‘Ulum yang masih memiliki keterkaitan dengan perpustakaan Baitul Hikmah (perpustakaan Dinasti Abbasiyah). Perpustakaan ini didirikan pada tahun 998 M oleh khalifah Fathimiyah Al-Aziz. Isi tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2400 buah Al-Qur’an berhiaskan emas dan perak dan disimpan di ruang terpisah.
Diantara penerjemahan abad kesembilan dan kesepuluh pada masa ini adalah Zurbah Ibn Majuh an-Na’ami al-Himsi, Halal ibn Abi Halal al-Himsi, Abu al-Fath Isfahani , Fethun at-Tarjuman, Abu Aswari, Ibnu Ayyub, Basil al-Mutran, Abu Yusuf al-Katib, Abu Umar Yuhanna ibnu Yusuf, dan Salam al-Abrash.
              3.    Dar Al-‘ilm
Pada bulan Jumadil akhir tahun 395 H/ 1005 M  atas saran perdana menterinya Ya’qub bin Killis, khalifah Al-Hakim mendirikan jamiah ilmiah akademik (lembaga riset). Lembaga ini kemudian diberi nama Dar al-Hikmah. Di sinilah berkumpul para ahli fikih, astronom, dokter dan ahli nahwu dan bahasa untuk mengadakan penelitian ilmiah. Di perpustakaan ini para pelajar dapat mempelajari fikih Syi’ah, ilmu bahasa, ilmu falaq, kedokteran, matematika, falsafah serta mantiq. Para cendekiawan belajar Al-Qur’an, astronomi, tata bahasa, leksikografi dan ilmu kedokteran.[3]











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Khalifah islam di Spanyol
Pengembangan ilmu pengetahuan di Spanyol Islam dimulai dengan mendirikannya mendirikan lembaga pendidikan, seperti madrasah-madrasah dan Universitas Cordova sebagai pusat ilmu pengetahuan. Selain itu, demi kelancaran proses pendidikan, maka dibangunlah fasilitas perpustakaan. Perpustakaan itu dibangun atas upaya Abdurrahman III juga dilakukan oleh Al-Hakam II dengan membangun perpustakaan terbesar di seluruh Eropa pada masa itu. Eksistensi perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban Spanyol Islam di segala bidang, telah menjadikannya sebagai sebuah Negara adikuasa di zamannya. Kehadirannya telah banyak mewarnai pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
2.      Khalifah Fathimiyah
Wilayah kekuasaan Daulah Fatimiyah (909 M-1171 M) meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Berdirinya Daulah Fatimiyah dilatarbelakangi oleh melemahnya Daulah Abbasiyah. Ubaidilillah Al-Mahdi mendirikan Daulah Fatimiyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Daulah Fatimiyah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan ilmu pengetahuan.
·         Lembaga pendidikan islam
ü  Masjid Al-Azhar dan Istana
ü  Perpustakaan
ü  Dar Al-‘ilm

DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. (2014), Sejarah Pendidikan Islam. Cetakan II. Jakarta: Prenadamedia Group.
Aan. “dinasti fatimiyah”. http://aanlah.blogspot.co.id


[1] Nata, Abuddin (2014). Sejarah Pendidikan Islam. Cetakan II. Jakarta: Prenadamedia Group. Halaman 184
[2] Ibid,. Hal 185
[3] Aan, dinasti fatimiyah http://aanlah.blogspot.co.id (diakses pada tanggal 17 februari 2016)

0 komentar:

Post a Comment