Aku Berfikir, Maka Aku Ada

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda di Blog Kami

Mohon Dikomentar Jika Ada Kesalahan.

Pedoman Utama

Bacalah Al-Quran jika Sedang Menghadapi Masalah.

Pedoman Kedua

Carilah Ilmu, Karna itu Wajib Bagimu.

Pedoman Ketiga

Cintailah Orang Sholih.

Aku Berfikir Maka Aku Ada

Berfikirlah Sebelum Fikiran Itu Hilang.

Sunday, October 23, 2016

menyamak kang santri




BAB MENYAMAK
(Dlibâgh; Tanning)

Pengertian [1]
Menyamak adalah salah satu cara mensucikan benda dari najis, yaitu benda najis yang berupa kulit bangkai, baik kulit bangkai hewan yang halal dagingnya atau tidak, kecuali kulit anjing dan babi serta peranakannya. Cara mensucikan dengan menyamak termasuk mensucikan dengan cara perubahan bentuk (istihâlah), mirip sucinya arak ketika telah berubah bentuk menjadi cukak dan sucinya bangkai setelah menjadi belatung.

Hukum dan Dalil
Hukum menyamak adalah mubâh (diperbolehkan), karena  menyamak merupakan media untuk menghilangkan kotoran dan kuman yang terdapat dalam kulit hewan supaya menjadi suci, sehingga kulit tersebut bisa dimanfaatkan.
Diantara dalil yang menjadi pedoman madzhab Syafi'i dalam hal ini ialah dua Hadits shahih berikut [2]:

إِذَا دُبِغَ اْلإِهَابُ فَقَدْ طَهُر َ.)رواه مسلم(
"Ketika kulit bangkai disamak maka akan menjadi suci" (H.R. Muslim)

 أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ .)رواه النسائي(
"Kulit hewan apapun yang telah disamak benar-benat telah suci."(H.R. An-Nasâi)

Kedua Hadits ini, disamping menunjukkan hukum mubâh menyamak juga menjelaskan bahwa semua kulit bangkai dapat disamak dan dapat disucikan. Disamping itu, kulit hewan selain anjing dan babi serta perakannya ketika masih hidup dihukumi suci, dan kulit tersebut berubah menjadi najis hanya karena hewan tersebut telah menjadi bangkai, sehingga kulit tersebut semestinya dapat disucikan, tak ubahnya seperti kulit hewan sembelihan yang terkena najis dapat disucikan kembali [3].
Binatang yang dihukumi najis ketika hidupnya, seperti anjing dan babi serta peranakannya dikecualikan dari keumuman redaksi Hadits di atas, sehingga tidak dapat disucikan dengan disamak. Hal ini berdasarkan pada keterangan sebuah Hadits :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ الْجُهَنِىّ ِt قَالَ أَتَانَا كِتَابُ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ بِأَرْضِ جُهَيْنَةَ وَأَنَا غُلاَمٌ شَابٌّ « أَنْ لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلاَ عَصَبٍ .(رواه أحمد)
“Dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim al-Juhany t, Beliau Berkata ; Telah sampai kepada kita surat dari Nabi e waktu kami masih berada di daerah Juhainah dan saya masih muda, yang isinya ialah “janganlah kalian semua memanfaatkan kulit dan otot bangkai”.”(H.R. Ahmad).

Keumuman Hadits di atas mencakup segala macam kulit bangkai. Dikecualikan dari keumuman Hadits tersebut, kulit bangkai yang telah disamak, sehingga dapat dimanfatkan. Pengecualian ini berdasarkan dua Hadits yang telah disebutkan sebelumnya (H.R. Muslim & H.R. An-Nasâi). Akan tetapi pengecualian ini tidak mengikutkan kulit anjing dan babi, sehingga masih termasuk dalam keumuman larangan penggunaan kulit bangkai dalam Hadits di atas. Dan juga, najis anjing dan babi terletak pada badan binatang tersebut, sehingga tidak dapat disucikan, seperti darah dan nanah yang tidak dapat disucikan karena benda tersebut memang merupakan barang najis. Berbeda dengan baju yang terkena najis, dapat disucikan karena baju tersebut bukan benda najis.
Alasan berikutnya ialah ; jika keadaan hidup seekor anjing saja tidak menjadikannya suci, apalagi hanya sekedar menyamak [4].

Mekanisme Menyamak [5]
Tata cara menyamak ialah :
1.    Menghilangkan sisa-sisa kotoran yang menempel pada kulit bangkai, seperti darah dan daging yang masih melekat, dan seandainya dibiarkan akan membuat kulit tersebut menjadi busuk. Hal ini terus dilakukan sampai kulit betul-betul bersih dari sisa-sisa kotoran yang masih melekat, sampai kulit terlihat bersih dan bagus, sehingga jika direndam ke dalam air, maka tidak akan rusak dan tidak berbau busuk.
2.    Mensucikan kulit dengan dibasuh air yang suci mensucikan. Hal ini dilakukan karena setatus kulit yang telah disamak telah menjadi mutanajjis, sebab darah dan kotoran yang pernah melekat.

Media Menyamak [6]
Proses penyamakan harus mengunakan benda-benda yang mempunyai rasa pahit dan sepat, baik berupa benda suci atau najis, seperti kotoran burung, daun salam dan lain sebagainya. Rasulullah r bersabda tentang bangkai kambing milik seorang sahabat wanita, Maimunah t :

 لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَقَالُوْا إِنَّهَا مَيِّتَةٌ  فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطَهِّرُهُ الْمَاءُ وَالْقَرَظُ  . )رواه أبو داود والنسا ئي(
"Ambillah kulitnya". Para sahabat berkata ; "Sesungguhnya kambing itu telah menjadi bangkai". Beluai bersabda ; "Kulitnya dapat disucikan dengan air dan kulit kayu qordh". (H.R. Abû Dâwûd & an-Nasâi).

Teks Hadits di atas memberi kesimpulan, bahwa dalam proses menyamak harus dengan menggunakan benda-benda yang mempunyai rasa sepat. penyebutan daun akasia atau daun salam dalam Hadits di atas hanyalah sebagai contoh, sehingga sesuatu yang mempunyai kesamaan dengannya juga dapat digunakan sebagai alat menyamak [7]. Menurut Habib Muhammad bin Ahmad as-Syâthiry dalam kitab Syarh Yâqût an-Nafîs, menyamak dapat juga menggunakan benda-bensa masa kini yang mampu menghasilkan tujuan manyamak (membersihkan kulit bangkai), termasuk benda-benda yang terbuat dari zat-zat kimia [8].  []


























1.  STANDAR BAHAN YANG BISA UNTUK MENYAMAK
Dalam literatur fiqh diterangkan bahwa cara menyamak kulit bangkai selain anjing dan babi adalah menghilangkan kotoran-kotoran yang masih terdapat pada kulit bangkai. Disamping itu, cara menghilangkannya dengan menggunakan الْحِرِّيْفُ. Sebatasmana yang dinamakan  الْحِرِّيْفُ?
Jawab: Hirrîf adalah setiap sesuatu yang mempunyai rasa pahit dan sepet baik dari benda suci atau najis seperti kotoran burung, daun salam atau daun akasia.
Referensi:
&    تحفة المحتاج في شرح المنهاج الجرء 1 صحـ : 309 مكتبة دار إحياء التراث العرابي
( بِحِرِّيفٍ ) وَهُوَ مَا يَلْذَعُ اللِّسَانَ بِحَرَافَتِهِ  كَقَرَظٍ وَشَبٍّ بِالْمُوَحَّدَةِ وَشَثٍّ بِالْمُثَلَّثَةِ وَذَرْقِ طَيْرٍ لِلْخَبَرِ الْحَسَنِ يُطَهِّرُهَا أَيِ الْمَيْتَةَ الْمَاءُ وَالْقَرَظُ اهـ

2.  MENYAMAK DENGAN TERIK MATAHARI
Karena permintaan tas kulit macan tutul dari kosumen begitu membengkak, para perajin tas berinisiatif menyamak kulit tutul dengan cara dikeringkan di bawah terik matahari. Dengan tujuan supaya bisa memasok tas sebanyak-banyaknya. Apakah dianggap cukup menyamak dengan praktek di atas?
Jawab: Belum cukup, karena terik matahari tidak mampu menghilangkan kotoran yang nempel pada kulit. Namun menurut Imam Abu Hanîfah mengeringkan kulit dengan matahari dianggap cukup.
Referensi:
&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 1 صحـ : 143 مكتبة دار الكتب العلمية
وَلا يَكْفِي التَّجْمِيْدُ بِالتُّرَابِ وَلا بِالشَّمْسِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا لا يَنْزَعُ الْفُضُولَ وَإِنْ جَفَّ الْجِلْدُ وَطَابَتْ رَائِحَتُهُ ِلأنَّ الْفُضُلاَتِ لَمْ تَزَلْ وَإِنَّمَا جَمَدَتْ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ نُقِعَ فِي الْمَاءِ عَادَتْ إلَيْهِ الْعُفُونَةُ وَيَصِيرُ الْمَدْبُوغُ كَثَوْبٍ مُتَنَجِّسٍ لِمُلاقَاتِهِ لِلأَدْوِيَةِ النَّجِسَةِ اهـ
&    ترشيح المستفيدين صحـ : 39 مكتبة الحرمين
وَلَيْسَ لِلنَّارِ وَالشَّمْسِ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ تَأْثِيْرًا إِلاَّ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ حَتَّى أَنَّ جِلْدَ الْمَيِّتَةِ إِذَا جِفَّ فِي الشَّمْسِ طَهُرَ عِنْدَهُ بِلاَ دَبْغٍِ اهـ

3.  PIPA ROKOK DARI GADING GAJAH

Bagi orang yang berduit, segala sesuatu yang sulit akan menjadi mudah, apapun yang diinginkan semuanya akan bisa ia dapatkan. Bahkan, kekuatan dan pengaruh dari uang dapat menyulap gading gajah menjadi pipa roko’. Bagaimana hukum menggunakan pipa rokok yang terbuat dari gading gajah?
Jawab: Hukumnya makruh, jika tulang tersebut dalam keadaan kering. Namun bila basah, maka haram. Menurut Abu Hanîfah tulang atau gading gajah hukumnya suci.
Referensi:
&    المجموع الجزء 1 صحـ : 83 مكتبة مطبعة المنيرية
وَسَيَأْتِيْ كَلامُ اْلأَصْحَابِ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى فِي عَظْمِ الْفِيْلِ أَنَّهُ يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْيَابِسِ وَلا يَحْرُمُ وَمِمَّنْ صَرَّحَ فِي عَظْمِ الْفِيْلِ بِكَرَاهَةِ اسْتِعْمَالِهِ فِي الْيَابِسِ وَتَحْرِيْمِهِ فِي الرَّطْبِ الشَّيْخُ نَصْرٌ فَدَلَّ أَنَّ مُرَادَهُ هُنَا اسْتِعْمَالُهُ فِي الرَّطْبِ وَأَمَّا قَوْلُ الْعَبْدَرِيِّ لا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ قَبْلَ الدِّبَاغِ فِي الْيَابِسَاتِ عِنْدَنَا وَعِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ فَغَلَطٌ مِنْهُ وَصَوَابُهُ أَنْ يَقُولَ فِي الرَّطَبَاتِ  اهـ
&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 1 صحـ : 100 مكتبة دار الفكر
( وَعَظْمُ ) الْحَيَوَانَاتِ ( الْمَيِّتَةِ وَشَعْرُهَا ) وَقَرْنُهَا وَظُفْرُهَا وَظِلْفُهَا ( نَجِسٌ ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى { حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ } قَوْلُهُ ( وَقَرْنُهَا ) وَكَذَا سِنُّهَا وَحَافِرُهَا وَقَدْ يَشْمَلُ جَمِيعَ ذَلِكَ الْعَظْمُ وَحِينَئِذٍ فَيَكُوْنُ مِنْ عَطْفِ الْجُزْءِ عَلَى كُلِّهِ وَكَذَا لَبَنُهَا وَبَيْضُهَا إنْ لَمْ يَتَصَلَّبْ وَمِسْكُهَا إنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ لِلْوُقُوْعِ وَقَالَ أَبُوْ حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ بِطَهَارَةِ الشَّعْرِ وَالصُّوْفِ وَالْوَبَرِ زَادَ أَبُوْ حَنِيفَةَ فَقَالَ بِطَهَارَةِ الْقَرْنِ وَالسِّنِّ وَالْعَظْمِ وَالرِّيْشِ إذْ لاَ رُوْحَ فِيهِ وَقَالَ مَالِكٌ بِطَهَارَةِ الشَّعْرِ وَالصُّوْفِ وَالْوَبَرِ مُطْلَقًا سَوَاءٌ كَانَ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ كَالنَّعَمِ أَوْ لاَ يُؤْكَلُ كَالْكَلْبِ وَالْحِمَارِ اهـ شَعْرَانِيٌّ فِي الْمِيزَانِ اهـ

4.  MENGKONSUMSI KULIT YANG DISAMAK
Menyamak adalah salah satu cara yang ditawarkan syariat untuk mensucikan kulit bangkai, baik kulit bangkai hewan yang halal dagingnya ataupun yang tidak, kecuali kulit anjing dan babi serta peranakannya. Apakah diperbolehkan mengkonsumsi kulit yang sudah disamak?
Jawab: Ada tiga pendapat ulama' dalam hal ini:
@ Pertama, pendapat yang kuat ( الأصح ), haram mengkonsumsinya.
@ Kedua, mutlak boleh memakannya.
@ Ketiga, diperinci; jika hewan tersebut berasal dari hewan yang halal dimakan, maka boleh mengkonsumsinya. Jika bukan, maka haram.
Referensi:
&    المجموع الجزء 9 صحـ : 41 مكتبة مطبعة المنيرية
جِلْدُ الْمَيْتَةِ الْمَدْبُوغُ فِي أَكْلِهِ ثَلاثَةُ أَقْوَالٍ أَوْ أَوْجُهٍ سَبَقَتْ فِي بَابِ اْلآنِيَةِ أَصَحُّهَا أَنَّهُ حَرَامٌ وَالثَّانِيْ حَلالٌ وَالثَّالِثُ إنْ كَانَ جِلْدَ حَيَوَانٍ مَأْكُوْلٍ فَحَلالٌ وَإِلاَّ فَلاَ  اهـ
&    المجموع الجزء 1 صحـ : 284 مكتبة مطبعة المنيرية
قَالَ الْمُصَنِّفُ رحمه الله تعالى وَهَلْ يَجُوْزُ أَكْلُهُ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ مِنْ حَيَوَانٍ يُؤْكَلُ فَفِيْهِ قَوْلاَنِ قَالَ فِي الْقَدِيْمِ لا يُؤْكَلُ لِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم { إنَّمَا حَرُمَ مِنْ الْمَيْتَةِ أَكْلُهَا } وَقَالَ فِي الْجَدِيْدِ يُؤْكَلُ ِلأنَّهُ جِلْدٌ طَاهِرٌ مِنْ حَيَوَانٍ مَأْكُوْلٍ فَأَشْبَهَ جِلْدَ الْمُذَكَّى وَإِنْ كَانَ مِنْ حَيَوَانٍ لا يُؤْكَلُ لَمْ يَحِلَّ أَكْلُهُ ِلأنَّ الدِّبَاغَ لَيْسَ بِأَقْوَى مِنْ الذَّكَاةِ وَالذَّكَاةُ لا تُبِيْحُ مَا لاَ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ فَلَأَنْ لاَ يُبِيْحَهُ الدِّبَاغُ أَوْلَى وَحَكَى شَيْخُنَا أَبُو حَاتِمٍ الْقَزْوَينِْيُّ عَنْ الْقَاضِي أَبِي الْقَاسِمِ بْنِ كج أَنَّهُ حَكَى وَجْهًا آخَرَ أَنَّهُ يَحِلُّ ِلأَنَّ الدِّبَاغَ عَمِلَ فِي تَطْهِيرِهِ كَمَا عَمِلَ فِي تَطْهِيرِ مَا يُؤْكَلُ فَعَمِلَ فِي إبَاحَتِهِ بِخِلافِ الذَّكَاةِ  اهـ

5.  KULIT YANG TERKELUPAS DARI HEWAN HIDUP
Dalam dunia peternakan hewan liar, sering kali terjadi perkelaihan antara hewan satu dengan yang lain. Sehinggga terkadang menyebabkan terkelupasnya kulit, bahkan fatalnya sampai titik kematian. Apakah kulit hewan yang terpisah dari hewan yang masih hidup bisa disamak seperti halnya kulit bangkai?
Jawab: Ya, bisa disamak.
Referensi:
&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 1 صحـ : 99 مكتبة دار الفكر
قَوْلُهُ ( الْمَيِّتَةِ ) أَيْ وَكَذَا جُلُودُ الْحَيِّ الَّذِيْ يَنْجُسُ بِالْمَوْتِ وَإِنَّمَا قَيَّدَ بِالْمَيِّتَةِ لِلْغَالِبِ فَلَوْ سُلِخَ جِلْدُهُ مَعَ حَيَاتِهِ طَهُرَ أَيْضًا بِالدِّبَاغِ اهـ م د

6.  HUKUM BULU YANG TERSISA SETELAH DISAMAK
Para perajin, umumnya bervariasi dalam menyamak kulit hewan agar menghasilkan motif dan corak yang menarik konsumen. Salah satunya dengan cara menyamak kulit yang bulu-bulunya masih utuh tanpa dihilangkan supaya terkesan hidup. Bagaimana setatus bulu-bulu yang tersisa di kulit yang sudah disamak?
Jawab: Hukumnya di-ma’fû jika bulu yang tersisa tersebut sedikit. Namun bila masih banyak maka hukumnya najis. Menurut Imam Syubki hukumnya suci walaupun bulunya banyak.
Referensi:

&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 1 صحـ : 100 مكتبة دار الفكر
وَخَرَجَ بِالْجِلْدِ الشَّعْرُ لِعَدَمِ تَأَثُّرِهِ بِالدَّبْغِ قَالَ النَّوَوِيُّ وَيُعْفَى عَنْ قَلِيلِهِ قَوْلُهُ ( وَيُعْفَى عَنْ قَلِيْلِهِ ) فَهُوَ نَجِسٌ مَعْفُوٌّ عَنْهُ خِلافًا لِمَنْ قَالَ طَاهِرٌ تَبَعًا لِلْجِلْدِ كَدَنِّ الْخَمْرِ لِلْفَرْقِ فَإِنَّ الْقَوْلَ بِطَهَارَةِ دَنِّ الْخَمْرَةِ لِلضَّرُورَةِ إذْ لَوْلاَ الْحُكْمُ بِطَهَارَتِهِ لَمْ يُوجَدْ طَهَارَةُ خَلٍّ أَصْلاً عَنْ خَمْرٍ وَلا ضَرُورَةَ إلَى طَهَارَةِ الشَّعْرِ ِلإِمْكَانِ إزَالَتِهِ وَِلأنَّهُ يُنْتَفَعُ بِالْجِلْدِ لاَ مِنْ جِهَةِ الشَّعْرِ أَمَّا الْكَثِيرُ فَلاَ يُعْفَى عَنْهُ أَصْلاً عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَاخْتَارَ السُّبْكِيُّ تَبَعًا لِلنَّصِّ وَجَمْعٌ مِنَ اْلأَصْحَابِ طَهَارَةَ الشَّعْرِ وَإِنْ كَثُرَ وَقَالَ هَذَا لاَ شَكَّ فِيهِ عِنْدِيْ وَهَذَا الَّذِيْ أَعْتَقِدُهُ وَأُفْتَي بِهِ اهـ سم وَبِهِ قَالَ الأَمَامُ أَبُوْ حَنِيفَةَ اهـ
b


[1]   Hasan bin Ahmad, Taqrîrât as-ٍSadîdah, hlm. 130.
[2]   An-Nawawy, al-Majmû’, vol. I, hlm. 273. 
[3]   An-Nawawy, al-Majmû’, vol. I, hlm. 276.
[4]   Abû al-Hasan al-Mâwardy, al-Hâwi al-Kabîr, (Lebanon : Dâr al-Fikr, 1414 H./1994 M.),
    vol. I, hlm. 59-60.
[5]   Muhammad al-Hasany, Kifâyah al-Akhyâr, vol. I, hlm. 12.
[6]   Sulaiman Al-bujairamy, Hasyiyah al-Bujairamy ‘alâ al-Khatîb, vol. I, hulm.99.
[7]   An-Nawawy, al-Majmû’, vol. I, hlm. 281-282.
[8]   Muhammad asy-Syâthiry, Syarh  al-Yâqût an-Nafîs, hlm. 63

shalat kang santri 2



1.  KETENTUAN MEMBACA DO’A IFTITÂH
Doa iftitâh merupakan bagian kesunnahan dalam shalat. Namun tidak sedikit seorang mushalli yang lupa akan hal itu. Apakah ketika mushalli telah melakukan takbîr, terus terlanjur membaca ta’awwudz atau Fatihah masih disunahkan membaca doa iftitâh?
Jawab: Tidak disunahkan, karena kesunahan membaca doa’ iftitâh jika belum didahului oleh bacaan apapun.
Referensi:
&    بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي صحـ : 72 مكتبة دار الفكر
( فَائِدَةٌ ) يَفُوْتُ دُعَاءُ اِلافْتِتَاحِ وَالتَّعَوُّذُ بِاْلإِتْيَانِ بِمَا بَعَدَهُمَا مِنَ التَّعَوُّذِ فِي اْلأَوَّلِ وَالْبَسْمَلَةِ فِي الثَّانِي عَمْداً أَوْ سَهْواً بِخِلاَفِ مَا لَوْ سَبَقَ لِسَانُهُ اهـ جمل وَقَالَ الْمَدَابِغِيُّ عَلَى اْلإِقْنَاعِ وَالْحَاصِلُ إِنَّ شَرْطَ اِلافْتِتَاحِ خَمْسَةٌ أَن لاَّ تَكُوْنَ صَلاَةَ جَنَازَةٍ وَأَن لاَّ يُدْرِكَ اْلإِمَامَ فِي غَيْرِ الْقِيَامِ وَلاَ يَشْرَعَ فِيْ التَّعَوُّذِ وَلاَ يَخَافَ فَوْتَ بَعْضِ الْفَاتِحَةِ وَلاَ فَوْتَ الْوَقْتِ وَهِيَ شُرُوْْطٌ لِلتَّعَوُّذِ أَيْضاً مَا عَدَا اْلأَوَّليْنَ  اهـ

2.  WAKTU KESUNAHAN MEMBACA TA’AWWUDZ
Mayoritas masyarakat belum mengetahui hal-hal yang disunahkan dalam shalat, diantaranya adalah membaca ta’awwudz. Kebanyakan dari mereka langsung membaca basmalah tanpa membaca ta’awwudz dahulu. Hal ini juga berlanjut pada rakaat-rakaat seterusnya. Apakah hukum kesunahan membaca ta’awwudz sebelum Fatihah hanya pada rakaat pertama saja atau juga pada tiap-tiap rakaat?
Jawab: Disunahkan disetiap rakaat.
Referensi:
&    بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي صحـ : 72 مكتبة دار الفكر
( فائدة ) يُنْدَبُ التَعَوُّذُ كُلَّ رَكْعَةٍ وَاْلأُوْلَى آكَدُ وَيُنْدَبُ أَيْضًا لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ خَارِجَ الصَّلاَةِ بَلْ أََفْتَى أَبُوْ حُوَيْرِثٍ بِنَدْبِهِ لِقِرَاءَةِ الْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ وَالنَّحْوِ وَاْلأَذْكَارِ قَالَ وَإِذَا أَتَى بِالْبَسْمَلَةِ بِقَصْدِ الْقِرَاءَةِ سُنَّ لَهَا التَّعَوُّذُ أَوِ التَّبَرُّكِ فَلاَ اهـ

3.  KEABSAHAN RUKU’SAAT SALAH LANGKAH
Seseorang turun dari i’tidâl bertujuan melakukan sujud, namun sebelum sampai ke tempat sujud, dia teringat, ternyata belum melakukan ruku’. Seketika itu orang tersebut langsung ruku’ tanpa berdiri dulu. Sahkah ruku’nya, mengingat dia turun bukan karena melakukan ruku’ tapi bertujuan mau sujud?
Jawab: Tidak sah, karena syarat dari ruku’ adalah turunnya tidak boleh bertujuan selain ruku’. Namun menurut Imam Asnâwi tetap sah.
Referensi:
&    حاشيتا قليوبي وعميرة الجزء 1 صحـ : 176 مكتبة دار إاحياء الكتب العربية
وَلاَ يَقْصِدُ بِهِ غَيْرَهُ أَيْ بِالْهُوِيِّ غَيْرَ الرُّكُوعِ فَلَوْ هَوَى لِتِلاَوَةٍ فَجَعَلَهُ عِنْدَ بُلُوغِ حَدِّ الرُّكُوعِ رُكُوعًا لَمْ يَكْفِ عَنْهُ بَلْ عَلَيْهِ أَنْ يَعُودَ إلَى الْقِيَامِ ثُمَّ يَرْكَعَ قَوْلُهُ ( وَلاَ يَقْصِدُ بِهِ غَيْرَهُ ) أَيْ يَجِبُ أَن لاَّ يَقْصِدَ بِالْهُوِيِّ غَيْرَهُ فَقَطْ مِنْ غَيْرِ أَفْعَالِ الصَّلاَةِ فَلاَ يَضُرُّ قَصْدُ غَيْرِهِ مَعَهُ وَلَوْ مِنْ غَيْرِ أَفْعَالِ الصَّلاَةِ وَلاَ قَصْدُ غَيْرِهِ مِنْ أَفْعَالِ الصَّلاَةِ فَلَوْ شَكَّ بَعْدَ رُكُوعِهِ فِي قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فَعَادَ بِقَصْدِ قِيَامِهَا لِقِرَاءَتِهَا فَتَذَكَّرَ فِيهَا أَوْ بَعْدَهَا أَنَّهُ قَرَأَهَا كَفَاهُ هَذَا الْقِيَامُ عَنْ اِلاعْتِدَالِ ( تَنْبِيهٌ ) لَوْ هَوَى لِلسُّجُودِ سَاهِيًا عَنْ الرُّكُوعِ فَتَبَيَّنَ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ لَمْ يَكْفِهِ هُوِيُّهُ عَنْهُ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ اِلانْتِصَابُ لِيَرْكَعَ مِنْهُ خِلاَفًا لِلْإِسْنَوِيِّ ِلإِلْغَاءِ فِعْلِ السَّاهِي كَذَا قِيلَ وَالْوَجْهُ مَا قَالَهُ اْلإِسْنَوِيُّ كَمَا مَرَّ قَبْلَهُ  اهـ

4.  POSISI KEDUA TANGAN KATIKA I’TIDÂL
Seperti yang sering kita lihat, seorang mushalli pada saat ber-i’tidâl, tangannya ada yang disedapkan, juga ada yang dibiarkan atau dilepaskan ke bawah. Bagaimana cara memposisikan kedua tangan ketika dalam keadaan i’tidâl?
Jawab: Cara yang dipilih oleh imam Nawawi dan Ibnu Hajar adalah, seperti halnya meletakkan kedua tangan setelah membaca Takbîrat al-Ihrâm.
Referensi:
&    الفتاوى الفقهية الكبرى الجزء 1 صحـ : 140 مكتبة الإسلامية
( وَسُئِلَ ) نَفَعَ اللَّهُ بِعُلُومِهِ وَمَتَّعَ بِوُجُودِهِ الْمُسْلِمِينَ هَلْ يَضَعُ الْمُصَلِّيْ يَدَيْهِ حِينَ يَأْتِيْ بِذِكْرِ اِلاعْتِدَالِ كَمَا يَضَعُهُمَا بَعْدَ التَّحَرُّمِ أَوْ يُرْسِلُهُمَا ( فَأَجَابَ ) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلاَمُ النَّوَوِيِّ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ أَنَّهُ يَضَعُ يَدَيْهِ فِي اِلاعْتِدَالِ كَمَا يَضَعُهُمَا بَعْدَ التَّحَرُّمِ وَعَلَيْهِ جَرَيْتُ فِي شَرْحِيْ عَلَى اْلإِرْشَادِ وَغَيْرِهِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ  اهـ

5.  SUJUD SEBAGIAN DAHI TERTUTUP RAMBUT
Kadang karena takut ketinggalan berjama’ah, mas Khoiron ketika memakai peci (kopyah) sebagian rambutnya masih menjuntai (jawa; klewer) ke dahi. Sehingga ketika sujud, rambut tersebut menutupi sebagian dahinya. Apakah sujudnya tidak sah ketika sebagian dahi tertutupi oleh rambut?
Jawab: Tetap sah, karena sujud cukup dengan meletakkan sebagian dahi.
Referensi:


&    حاشية الجمل الجزء 1 صحـ : 211 مكتبة دار الفكر العربي
وَأَقَلُّهُ مُبَاشَرَةُ بَعْضِ جَبْهَتِهِ وَلَوْ شَعْرًا نَابِتًا بِهَا مُصَلاَّهُ أَيْ مَا يُصَلِّيْ عَلَيْهِ بِأَن لاَّ يَكُونَ عَلَيْهَا حَائِلٌ كَعِصَابَةٍ فَإِنْ كَانَ لَمْ يَصِحَّ إِلاََّ أَن يََّكُونَ لِجِرَاحَةٍ وَشَقَّ عَلَيْهِ إزَالَتُهُ مَشَقَّةً شَدِيدَةً فَيَصِحُّ (الشرح) قَوْلُهُ مُبَاشَرَةُ بَعْضِ جَبْهَتِهِ مُصَلاَّهُ  وَيُتَصَوَّرُ السُّجُودُ عَلَى الْبَعْضِ بِأَنْ يَكُونَ السُّجُودُ عَلَى عُوْدٍ مَثَلاً أَوْ يَكُونَ بَعْضُهَا مَسْتُوْرًا فَيَسْجُدَ عَلَيْهِ مَعَ الْمَكْشُوفِ مِنْهَا اهـ ع ش عَلَى م ر وَالْجَبْهَةُ طُولاً مَا بَيْنَ صِدْغَيْهِ وَعَرْضًا مَا بَيْنَ مَنَابِتِ شَعْرِ رَأْسِهِ وَحَاجِبَيْهِ اهـ ق ل عَلَى الْجَلاَلِ

6.  BANGUN DARI SUJUD KARENA KAGET
Entah karena apa, seseorang secara spontan (tidak menyengaja) bangun dari sujud (mungkin karena kaget). Kemudian dia meneruskan dengan rukun setelahnya, tanpa kembali bersujud. Benarkah tindakan orang tersebut?
Jawab: Tidak benar, baginya harus kembali ke posisi sujud, sebelum melakukan rukun setelahnya.
Referensi:
&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 2 صحـ : 38 مكتبة دار الفكر
وَيَجِبُ أَن لاَّ يَقْصِدَ بِرَفْعِهِ غَيْرَهُ كَمَا مَرَّ فِي الرُّكُوعِ فَلَوْ رَفَعَ فَزِعًا مِنْ شَيْءٍ لَمْ يَكْفِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَعُودَ إلَى السُّجُودِ  اهـ

7.  POSISI DADA HARUS TETAP KETIKA SALAM PERTAMA
Menolehkan kepala saat melakukan salâm, hukumnya disunnahkan. Namun, kebanyakan masyarakat juga memalingkan dadanya ketika menolehkan kepala. Apakah memalingkankan dada sebelum mengucapkan Mîm-nya lafadz عَلَيْكُمْ pada saat salam pertama dapat membatalkan shalat?
Jawab: Ya, bisa membatalkan shalat.
Referensi:
&    بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي صحـ : 89 مكتبة دار الفكر
( مسألة ) مُصَلٍّ أَوْمَأَ بِرَأْسِهِ عِنْدَ سَلاَمِهِ فَإِنْ خَفَضَهُ حَتَّى حَاذَى مَا قُدَّامَ رَكْبَتَيْهِ أَوِ الْتَفَتَ بِصَدْرِهِ قَبْلَ النُّطْقِ بِمِيْمِ عَلَيْكُمْ مِنَ التَّسْلِيْمَةِ اْلأُوْلَى بَطَلَتْ وَإِلاَّ فَلاَ  اهـ
&    تحفة المحتاج في شرح المنهاج الجزء 2 صحـ : 90 مكتبة دار إحياء الراث العربي
الثَّانِيَ عَشَرَ السَّلاَمُ لِلْخَبَرِ السَّابِقِ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ وَيَجِبُ إيقَاعُهُ إلَى انْتِهَاءِ مِيْمِ عَلَيْكُمْ حَالَ الْقُعُودِ أَوْ بَدَلِهِ وَصَدْرُهُ لِلْقِبْلَةِ ( قَوْلُهُ وَصَدْرُهُ لِلْقِبْلَةِ ) فَلَوِ انْحَرَفَ بِهِ عَامِدًا عَالِمًا بَطَلَتْ صَلاَتُهُ أَوْ نَاسِيًا أَوْ جَاهِلاً فَلاَ وَهَلْ يُعْتَدُّ بِسَلاَمِهِ حِينَئِذٍ لِعُذْرِهِ أَوْ لاَ وَتَجِبُ إعَادَتُهُ ِلإِتْيَانِهِ بِهِ بَعْدَ اِلانْحِرَافِ فِيهِ نَظَرٌ وَاْلأَقْرَبُ اْلأَوَّلُ وَعَلَيْهِ لاَ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ لِانْتِهَاءِ صَلاَتِهِ ع ش أَقُولُ بَلْ قِيَاسُ نَظَائِرِهِ الثَّانِيْ فَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ ثُمَّ يُعِيدُ سَلاَمَهُ 

8.  RAGU-RAGU MENINGGALKAN RUKUN KETIKA SHALAT
Memang benar, orang yang lagi susah, gelisah dan resah, pikirannya kacau, tidak nyambung alias tidak konek. Bahkan saat shalatpun konsentrasinya terganggu. Apa yang harus dilakukan, jika di tengah melakukan shalat timbul keraguan atau bahkan lupa ada sebagian rukun yang tidak dikerjakan, semisal ruku’?
Jawab: Diperinci; jika ia ingat sebelum melakukan ruku’ pada rakaat setelahnya, maka ia harus kembali untuk mengerjakan ruku’ yang ditinggalkan. Dan jika ia ingat saat melakukan ruku’ atau setelah ruku’pada rakaat setelahnya, maka cukup meneruskan shalatnya dan menambah satu rakaat.  
Referensi:
&    فتح المعين هامش إعانة الطالبين الجزء 1 صحـ : 208 مكتبة دار الفكر
وَلَوْ سَهَا غَيْرُ مَأْمُوْمِ فِي التَّرْتِيْبِ بِتَرْكِ رُكْنٍ كَأَن سَجَدَ قَبْلَ الرُّكُوْعِ أَوْ رَكَعَ قَبْلَ الْفَاتِحَةِ لَغَا مَا فَعَلَهَ حَتَّى يَأْتِيَ بِالْمَتْرُوْكِ فَإِنْ تَذَكَّرَ قَبْلَ بُلُوْغِ مِثْلِهِ أَتَى بِهِ وَإِلاَّ فَسَيَأْتِيْ بَيَانُهُ أَوْ شَكَّ هُوَ أَيْ غَيْرُالْمَأْمُوْمِ فِي رُكْنٍ هَلَ فَعَلَ أَمْ لاَ كَأَنْ شَكَّ رَاكِعًا هَلْ قَرَأَ الْفَاتِحَةَ أَوْ سَاجِدًا هَلْ رَكَعَ أَوِ اعْتَدَلَ أَتَى بِهِ فَوْرًا وُجُوْبًا إِنْ كَانَ الشَّكُّ قَبْلَ فِعْلِهِ مِثْلَهُ أَيْ مِثْلَ الْمَشْكُوْكِ فِيْهِ مِنْ رَكْعَةٍ أُخْرَى وَإِلاَّ أَيْ وَإِنْ لَمْ يَتَذَكَّرْ حَتَّى فَعَلَ مِثْلَهُ فِي رَكْعَةٍ أُخْرَى أَجْزَأَهُ عَنْ مَتْرُوْكِهِ وَلَغَا مَا بَيْنَهُمَا هَذَا كُلُّهُ إِنْ عَلِمَ عَيْنَ الْمَتْرُوْكِ وَمَحَلَّهُ فَإِنْ جَهِلَ عَيْنَهُ وَجَوَّزَ أَنَّهُ النِيَّةُ أَوْ تَكْبِيْرَةُ اْلإِحْرَامِ بَطَلَتْ صَلاَتُهُ وَلَمْ يُشْتَرَطْ هُنَا طُوْلُ فَصْلٍ وَلاَ مُضِيُّ رُكْنٍ أَوْ أَنَّهُ السَلاَمُ يُسَلِّمُ وَإِنْ طَالَ الْفَصْلُ عَلَى اْلأَوْجَهِ أَوْ أَنَّهُ غَيْرُهُمَا أَخَذَ بِاْلاَسْوَأِ وَبَنَى عَلَى مَا فَعَلَهُ وَتَدَارَكَ الْبَاقِيَ مِنْ صَلاَتِهِ نَعَمْ إِن لََّمْ يَكُنِ الْمِثْلُ مِنَ الصَّلاَةِ كَسُجُوْدِ تِلاَوَةٍ لَمْ يُجْزِئْهُ  اهـ

9.  RAGU-RAGU MENINGGALKAN RUKUN SETELAH SHALAT
Seseorang yang sedang kebingungan atau sangat susah, apalagi terkait masalah tuntutan ekonomi, pastinya pikirannya tidak akan tenang bahkan bisa dibilang kacau. Bahkan saking bingungnya, saat shalatpun terkadang mereka bengong dengan pandangan yang kosong. Akibatnya walaupun shalat yang dilakukan sudah selesai, tapi masih ragu-ragu apakah rukun-rukun shalat sudah dikerjakan semua atau tidak. Apakah keraguan setelah selesainya shalat dapat mempengaruhi terhadap sahnya shalat?
Jawab: Tidak, karena dengan selesainya shalat, semua masalah dianggap selesai.
Referensi:
&    حاشيتا قليوبي وعميرة  الجزء 1 صحـ : 231 مكتبة دار الكتب العربية
(وَلَوْ شَكَّ بَعْدَ السَّلاَمِ فِي تَرْكِ فَرْضٍ لَمْ يُؤَثِّرْ عَلَى الْمَشْهُورِ) ِلأَنَّ الظَّاهِرَ  وُقُوعُ السَّلاَمِ عَنْ تَمَامٍ وَالثَّانِيْ يُؤَثِّرُ ِلأَنَّ اْلأَصْلَ عَدَمُ فِعْلِهِ فَيَبْنِيْ عَلَى الْمُتَيَقَّنِ وَيَسْجُدُ كَمَا فِي صُلْبِ الصَّلاَةِ إنْ لَمْ يَطُلِ الْفَصْلُ فَإِنْ طَالَ اسْتَأْنَفَ كَمَا فِي أَصْلِ الرَّوْضَةِ وَمَرْجِعُ الطُّولِ الْعُرْفُ وَلاَ فَرْقَ فِي الْبِنَاءِ بَيْنَ أَنْ يَتَكَلَّمَ وَيَمْشِيَ وَيَسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةَ وَبَيْنَ أَنْ لاَ يَفْعَلَ ذَلِكَ قَوْلُهُ (وَلَوْ شَكَّ بَعْدَ السَّلاَمِ) أَيْ طَرَأَ لَهُ بَعْدَ سَلاَمِهِ التَّرَدُّدُ فِي حَالِهِ قَبْلَ صَلاَتِهِ أَوْ فِيهَا وَخَرَجَ بِالتَّرَدُّدِ تَذَكُّرُ حَالِهِ وَإِخْبَارُ عَدَدٍ بِالتَّوَاتُرِ قَالَ شَيْخُنَا وَكَذَا ظَنُّهُ بِخَبَرِ عَدْلٍ ِلأَنَّ الظَّنَّ مَعَهُ كَالْيَقِينِ قَوْلُهُ (فِي تَرْكِ فَرْضٍ) عَدَلَ عَنْ أَنْ يَقُولَ فِي تَرْكِ رُكْنٍ لِيَشْمَلَ الرُّكْنَ وَبَعْضَهُ وَالشَّرْطَ وَبَعْضَهُ وَالْمُعَيَّنَ مِنْهُمَا وَالْمُبْهَمَ كَتَرْكِ الْفَاتِحَةِ أَوْ بَعْضِهَا أَوْ الرُّكُوعِ أَوْ طُمَأْنِينَتِهِ أَوْ بَعْضِ اْلأَرْكَانِ اهـ

10. SETELAH SALAM TERINGAT TELAH MENINGGALKAN RUKUN
Karena takut ditinggal teman, mas Udin ketika melakukan shalat sangat cepat sekali. Sehingga dia tidak merasa, bahwa ada sebagian rukun yang ia tinggalkan. Dia baru sadar kalau ada sebagian rukun yang belum ia kerjakan pada waktu selesai salâm. Apakah yang harus dilakukan jika setelah selesai shalat, teringat ternyata ada sebagian rukun yang ditinggalkan?
Jawab: Cukup meneruskan shalatnya, apabila ingatnya tidak lama dari waktu salâm. Jika lama, maka harus mengulagi dari awal.
Catatan : Mengenai ukuran lama dan tidaknya, dikembalikan pada urf.
Referensi:
&    المجموع الجزء 4 صحـ : 43 مكتبة مطبعة المنيرية
( الشَّرْحُ ) إذَا سَلَّمَ مِنْ صَلاَتِهِ ثُمَّ تَيَقَّنَ أَنَّهُ تَرَكَ رَكْعَةً أَوْ رَكْعَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا أَوْ أَنَّهُ تَرَكَ رُكُوعًا أَوْ سُجُودًا أَوْ غَيْرَهُمَا مِنْ اْلأَرْكَانِ سِوَى النِّيَّةِ وَتَكْبِيرَةِ اْلإِحْرَامِ فَإِنْ ذَكَرَ السَّهْوَ قَبْلَ طُولِ الْفَصْلِ لَزِمَهُ الْبِنَاءُ عَلَى صَلاَتِهِ فَيَأْتِي بِالْبَاقِي وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ وَإِنْ ذَكَرَ بَعْدَ طُولِ الْفَصْلِ لَزِمَهُ اسْتِئْنَافُ الصَّلاَةِ هَكَذَا قَالَهُ الْمُصَنِّفُ هُنَا وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي اْلأُمِّ وَالْبُوَيْطِيُّ وَصَرَّحَ بِهِ اْلأَصْحَابُ فِي جَمِيْعِ الطُّرُقِ وَحَكَى الْمُصَنِّفُ فِي التَّنْبِيهِ قَوْلاً أَنَّهُ يَبْنِيْ مَا لَمْ يَقُمْ مِنَ الْمَجْلِسِ وَهَذَا الْقَوْلُ شَاذٌّ فِي النَّقْلِ وَغَلَطٌ مِنْ حَيْثُ الدَّلِيلُ وَهُوَ مُنَابِذٌ لِحَدِيثِ ذِي الْيَدَيْنِ السَّابِقِ فَوَجَبَ رَدُّهُ وَالصَّوَابُ اعْتِبَارُ طُولِ الْفَصْلِ وَقَصْرِهِ وَفِي ضَبْطِهِ قَوْلاَنِ وَوَجْهَانِ الصَّحِيحُ مِنْهَا عِنْدَ اْلأَصْحَابِ الرُّجُوعُ إلَى الْعُرْفِ فَإِنْ عَدُّوْهُ قَلِيلاً فَقَلِيلٌ أَوْ كَثِيرًا فَكَثِيرٌ وَهَذَا هُوَ الْمَنْصُوْصُ فِي اْلأُمِّ وَبِهِ قَطَعَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الْبَنْدَنِيجِيُّ اهـ

11. HITUNGAN GERAKAN YANG MEMBATALKAN SHALAT
Seseorang ketika melakukan takbîrat al-intiqâl setelah ruku’, terkadang menjulurkan tangannya, tak terasa kedua tangannya terayun-ayun secara bersamaan, bahkan kadang sampai dua ayunan atau lebih. Bagi seseorang yang menggerakkan atau mengayungkan kedua tangan secara bersamaan, apakah dihitung satu gerakan ataukah dua gerakan?
Jawab: Dihitung dua gerakan.
Referensi:
&    الفتاوى الفقهية الكبرى الجزء 1 صحـ : 140 مكتبة الإسلامية
( وَسُئِلَ ) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَمَّا لَوْ حَرَّكَ الشَّخْصُ يَدَيْهِ مَعًا فِي الصَّلاَةِ هَلْ تُحْسَبُ حَرَكَتُهُمَا إذَا وَقَعَتَا مَعًا فِيهَا حَرَكَةً أَمْ حَرَكَتَيْنِ وَكَذَا الرِّجْلاَنِ حُكْمُهُمَا ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ الَّذِي اقْتَضَاهُ كَلاَمُهُمْ أَنَّ حَرَكَةَ الْيَدَيْنِ تُحْسَبُ حَرَكَتَيْنِ سَوَاءٌ وَقَعَتَا مَعًا أَمْ مُرَتَّبًا حَتَّى لَوْ حَرَّكَهُمَا مَعَ رَأْسِهِ بَطَلَتْ صَلاَتُهُ ِلأَنَّهُ وُجِدَ مِنْهُ ثَلاَثَةُ أَفْعَالٍ مُتَوَالِيَةٍ وَعَلَى ذَلِكَ جَرَيْتُ فِي شَرْحِ اْلإِرْشَادِ وَعِبَارَتُهُ كَثَلاَثِ خُطُوَاتٍ بِضَمِّ الْخَاءِ وَإِنْ كَانَتْ بِقَدْرِ خُطْوَةٍ مُغْتَفَرَةٍ وَثَلاَثِ مَضَغَاتٍ وَتَحْرِيكِ يَدَيْهِ وَرَأْسِهِ وَلَوْ مَعًا أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ لاَ فَرْقَ عِنْدَ كَثْرَةِ اْلأَفْعَالِ بَيْنَ كَوْنِهَا مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ أَوْ أَكْثَرَ انْتَهَتْ

12. MENGUSIR NYAMUK KETIKA SHALAT
Karena dikerubuti nyamuk, seseorang yang sedang melakukan shalat, berusaha menghalaunya sampai bergerak lebih dari tiga gerakan. Batalkah shalatnya?
Jawab: Tidak batal, karena hal itu dianggap gerakan sebab dlorûrot.
Referensi:
&    بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي صحـ : 89 مكتبة دار الفكر
وَلَوْ كَثُرَ الْبَعُوْضُ وَلَمْ يُمْكِنْ دَفْعُهُ إِلاَّ بِتَحْرِيْكِ الْيَدِ ثَلاَثاً مُتَوَالِيَةً لَمْ تَبْطُلْ لِلضَّرُوْرَةِ اهـ فتاوى ابن حجر

13. BERGOYANG-GOYANG KETIKA SHALAT
Mungkin ketika shalat terlalu asyik saat membaca Fatihahnya, atau mungkin karena suara imamnya sangat merdu, tanpa disadari tubuhnya bergoyang-goyang kekanan-kekiri seperti layangan. Apakah yang demikian dapat Membatalkan shalat?
Jawab: Ya, jika sampai bergerak tiga kali. Jika tidak maka hukumnya hukumnya makruh.
Referensi:
&    بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي صحـ : 90 مكتبة دار الفكر
( مَسْأَلَةُ ك ) اْلاِهْتِزَازُ فِي الصَّلاَةِ وَهُوَ التَّمَايُِلُ يُمْنَةً وَيُسْرَةً مَكْرُوْهٌ مَا لَمْ يَكْثُرْ وَإِلاَّ أَبْطَلَ كَالْمُضْغِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ عَنِ اِلاضْطِرَارِ اهـ

14. BERGARUK-GARUK RIA SAAT SHALAT
Karena tidak kuat, seseorang yang punya penyakit gatal-gatal, menggaruk-garuk tubuhnya sampai melebihi tiga gerakan. Apakah gerakan tersebut dapat membatalkan shalat?
Jawab: Tidak batal, jika tidak mampu menahan gatal-gatal tersebut tanpa digaruk melebihi tiga kali gerakan.
Referensi:
&    الشرقاوى  الجزء الأول  صحـ  220-221 دار الكتب الاسلامية
وَكَثِيْرُ الْفِعْلِ اِذَا كَانَ لِشِدَّةِ جَرَبٍ أَوْ خَفِيْفًا كَتَحْرِيْكِ أَصَابِعِهِ فِي سُبْحَةٍ لاَيُفْسِدُ (قوله لِشِدَّةِ جَرَبٍ) اَيْ جَرَبٍ شَدِيْدٍ بِأَن لاَّ يَقْدِرَ مَعَهُ عَلَى عَدَمِ الْحَكِّ هَذَا اِنْ لَمْ يَعْلَمْ مِنْ حَالِهِ أَنَّهُ يَعْتَرِيْهِ تَارَةً وَيَغِيْبُ عَنْهُ أُخْرَى وَإِلاَّ فَيَجِبُ عَلَيْهِ انْتِظَارُ زَوَالِهِ مَالَمْ يَخْرُجِ الْوَقْتُ كَمَا قَالُوْهُ فِى السُّعَالِ وَكَالْجَرَبِ الْقُمَّلُ فَلاَ تَبْطُلُ بِتَحْرِيْكِ كَفِّهِ لِلْحَكِّ لَهُ ثَلاَثًا وِلاَءً لِلضَّرُوْرَةِ  اهـ
&    تحفة المحتاج في شرح المنهاج الجزء 2 صحـ : 155 مكتبة دار إحياء التراث العربي
أَمَّا إذَا حَرَّكَهَا مَعَ الْكَفِّ ثَلاَثًا مُتَوَالِيَةً فَإِنَّهَا مُبْطِلَةٌ إلاَ لِنَحْوِ حِكَّةٍ لاَ يَصْبِرُ مَعَهَا عَلَى عَدَمِهِ بِأَنْ يَحْصُلَ لَهُ مَا لاَ يُطَاقُ الصَّبْرُ عَلَيْهِ عَادَةً وَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ مَنِ ابْتُلِيَ بِحَرَكَةٍ اضْطِرَارِيَّةٍ يَنْشَأُ عَنْهَا عَمَلٌ كَثِيرٌ سُوْمِحَ فِيهِ  اهـ

15. QADLÂ’SHALAT YANG JUMLAHNYA TIDAK DIKETAHUI
Kepedulian orang zaman sekarang terhadap ibadah boleh dibilang sangat minim sekali. Lebih-lebih ibadah shalat. Sehingga tak jarang karena kecerobohannya itu, mereka lupa berapa shalat yang mereka tinggalkan. Berapakah shalat yang harus di-qadlâ’ jika jumlah shalat yang ditinggalkannya tidak diketahui?
Jawab: Diperinci; bagi mereka yang sering melakukan shalat, hanya berkewajiban meng-qadlâ’ shalat yang yakin ditinggalkannya. Namun bagi mereka yang sering meninggalkan shalat, wajib meng-qadlâ’ shalat sampai yakin mengerjakan semuanya.
Referensi:
&    المجموع الجزء 3 صحـ : 77 مكتبة مطبعة المنيرية
وَلَوْ كَانَ عَلَيْهِ فَوَائِتُ لاَ يَعْرِفُ عَدَدَهَا وَيَعْلَمُ الْمُدَّةَ الَّتِيْ فَاتَهُ فِيهَا بِأَنْ قَالَ تَرَكْتُ صَلَوَاتٍ مِنْ هَذَا الشَّهْرِ وَلاَ أَعْلَمُ قَدْرَهَا فَوَجْهَانِ حَكَاهُمَا صَاحِبَا التَّتِمَّةِ وَالْبَيَانِ وَالشَّاشِيُّ ( أَحَدُهُمَا ) وَهُوَ قَوْلُ الْقَفَّالِ يُقَالُ لَهُ كَمْ تَتَحَقَّقُ أَنَّكَ تَرَكْتَ فَإِنْ قَالَ عَشْرَ صَلَوَاتٍ وَأَشُكُّ فِي الزِّيَادَةِ لَزِمَهُ الْعَشْرُ دُون الزِّيَادَةِ ( وَالثَّانِي ) وَهُوَ قَوْلُ الْقَاضِي حُسَيْنٍ يُقَالُ لَهُ كَمْ تَتَحَقَّقُ أَنَّكَ صَلَّيْتَ فِي هَذَا الشَّهْرِ فَإِذَا قَالَ كَذَا وَكَذَا أَلْزَمْنَاهُ قَضَاءَ مَا زَادَ ِلأَنَّ اْلأَصْلَ شُغْلُ ذِمَّتِهِ فَلاَ يَسْقُطُ إلاَ مَا تَحَقَّقَهُ - إلى أن قال - فَعَلَى قِيَاسِ اْلأَوَّلِ يَلْزَمُهُ قَضَاءُ مَا تَحَقَّقَ تَرْكُهُ فَحَسْبُ وَعَلَى الثَّانِي يَلْزَمُهُ مَا زَادَ عَلَى مَا تَحَقَّقَ فِعْلَهُ قُلْتُ قَوْلُ الْقَاضِي حُسَيْنٍ أَصَحُّ وَاَلَّذِي يَنْبَغِيْ أَنْ يُخْتَارَ وَجْهٌ ثَالِثٌ وَهُوَ أَنَّهُ إنْ كَانَ عَادَتُهُ الصَّلاَةَ وَيَنْدُرُ تَرْكُهُ لَمْ يَلْزَمْهُ إلاَ مَا تَيَقَّنَ تَرْكَهُ كَمَا لَوْ شَكَّ بَعْدَ السَّلاَمِ فِي تَرْكِ رُكْنٍ فَإِنَّ الْمَذْهَبَ أَنَّهُ لاَ يَلْزَمُهُ شَيْءٌ ِلأَنَّ الظَّاهِرَ مُضِيُّهَا عَلَى الصِّحَّةِ وَإِنْ كَانَ يُصَلِّي فِي وَقْتٍ وَيَتْرُكُ فِي وَقْتٍ وَلَمْ تَغْلِبْ مِنْهُ الصَّلاَةُ لَزِمَهُ قَضَاءُ مَا زَادَ عَلَى مَا تَيَقَّنَ فِعْلَهُ ِلأَنَّ اْلأَصْلَ بَقَاؤُهُ فِي ذِمَّتِهِ وَلَمْ يُعَارِضْهُ ظَاهِرٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

16. JABAT TANGAN SETELAH SHALAT
Kalau setelah shalat jama’ah ada yang berjabat tangan (jawa; salaman), pasti jama’ahnya orang NU. Adakah dalil yang menganjurkan berjabat tangan setelah melakukan shalat?
Jawab: Pada dasarnya dalil secara khusus tidak ada. Namun dalil yang menjelaskan sunahnya berjabat tangan ada, yaitu;

وَعَنِ الْبَرَّاءِ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم مَا مِنْ مُسْلِمَينِ
 يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أنْ يَفْتَرِقَا ( رواه أَبُو داود )
“Tidak dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan,
kecuali dosanya diampuni sebelum mereka berpisah”

Sebenarnya kesunahan berjabat tangan bisa dilakukan dimana saja, misalnya; di sawah atau di pasar. Dan juga dapat dilakukan kepada orang yang sudah kita kenal atau belum. Namun hal ini sulit diwujudkan. Oleh karenanya, ulama’ NU memanfaatkan shalat jama’ah sebagai media untuk berjabat tangan sekaligus  mempererat hubungan silaturrahim antar sesama.
Referensi:
&    المجموع الجزء 3 صحـ : 470 مكتبة مطبعة المنيرية
(فَرْعٌ) وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلاَتَيِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ  فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ اْلإِمَامُ أَبُوْ مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلاَ تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلاَ اسْتِحْبَابٍ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ ِلأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ بِاْلإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ اهـ

17. LEWAT DI DEPAN ORANG SHALAT
Karena saking semangatnya shalat berjama’ah, kang Otoy mesti ada di barisan yang paling depan. Namun nasib sial menimpanya, ketika sedang shalat, dia kebelet ingin buang air besar. Karena takut keluar di tempat tersebut, tanpa pikir panjang dia langsung lari melewati orang-orang yang sedang shalat. Bolehkah lewat di depan orang yang sedang shalat ketika tidak menemukan jalan lain?
Jawab: Menurut al-Adzrô’i diperbolehkan, apabila sangat terpaksa. Sedangkan menurut al-Asnâwi, boleh lewat di depan orang shalat, walaupun tidak dalam keadaan terpaksa, asalkan tidak ada jalan lain.
Referensi:
&    بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي صحـ : 91 مكتبة دار الفكر
[ فائدة ] يَحْرُمُ الْمُرُوْرُ بَيْنَ الْمُصَلِّيْ وَسُتْرَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ طَرِيْقاً وَلَوْ لِضَرُوْرَةٍ كَمَا فِي اْلإِمْدَادِ وَاْلإِيْعَابِ لَكِنْ قَالَ اْلأَذْرَعِيُّ وَلاَ شَكَّ فِي حِلِّ الْمُرُوْرِ إِذَا لَمْ يَجِدْ طَرِيْقاً سِوَاهُ عِنْدَ ضَرُوْرَةِ خَوْفِ بَوْلٍ كَكُلِّ مَصْلَحَةٍ تَرَجَّحَتْ عَلَى مَفْسَدَةِ الْمُرُوْرِ وَقَالَ اْلأَئِمَّةُ الثَّلاَثَةُ يَجُوْزُ إِذَا لَمْ يَجِدْ طَرِيْقاً مُطْلَقاً وَاعْتَمَدَهُ اْلإِسْنَوِيُّ وَالْعُبَابُ وَغَيْرُهُمَا اهـ كُرْدِيّ وَبِهِ يُعْلَمُ جَوَازُ الْمُرُوْرِ لِنَحْوِ اْلإِمَامِ عِنْدَ ضَيْقِ الْوَقْتِ أَوْ إِدْرَاكِ جَمَاعَةٍ اهـ بَاسُودَانُ وَقَالَ فِي فَتْحِ الْبَارِي وَجَوَازُ الدَّفْعِ وَحُرْمَةُ الْمُرُوْرِ عَامٌّ وَلَوْ بِمَكَّةَ الْمُشَرَّفَةِ وَاغْتَفَرَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ ذَلِكَ لِلطَّائِفِيْنَ لِلضَّرُوْرَةِ عَنْ بَعْضِ الْحَنَابِلَةِ جَوَازَهُ فِي جَمِيْعِ مَكَّةَ اهـ

18. DUDUK LAGI SETELAH BERDIRI UNTUK TASYAHHUD AWAL
Sering terjadi, ketika sujud pada rakaat yang kedua, seseorang lupa tidak melakukan Tasyahhud al-Awwal dan langsung berdiri. Anehnya, disaat teringat telah meninggalkan Tasyahhud al-Awwal mereka duduk kembali untuk melakukannya. Apakah diperbolehkan duduk kembali untuk melakukan Tasyahhud al-Awwal?
Jawab: Tidak boleh, sebab sesuatu yang wajib (dalam hal ini berdiri) tidak boleh ditinggalkan hanya karena melakukan kesunahan (Tasyahhud al-Awwal).
Referensi:
&    المجموع الجزء 4 صحـ : 58 مكتبة مطبعة المنيرية
( فَرْعٌ ) قَدْ سَبَقَ أَنَّ فَوَاتَ التَّشَهُّدِ اْلأَوَّلِ أَوْ جُلُوسِهِ يَقْتَضِيْ سُجُودَ السَّهْوِ فَإِذَا نَهَضَ مِنْ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ نَاسِيًا لِلتَّشَهُّدِ أَوْ جَلَسَ وَلَمْ يَقْرَاء التَّشَهُّدَ ثُمَّ نَهَضَ نَاسِيًا ثُمَّ تَذَكَّرَ فَلَهُ حَالاَنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَذَكَّرَ بَعْدَ اِلانْتِصَابِ قَائِمًا فَيَحْرُمُ الْعَوْدُ إلَى الْقُعُودِ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَدَلِيلُهُ حَدِيثُ الْمُغِيرَةِ السَّابِقُ - الى ان قال - فَإِنْ عَادَ مُتَعَمِّدًا عَالِمًا بِتَحْرِيمِهِ بَطَلَتْ صَلاَتُهُ وَإِنْ عَادَ نَاسِيًا لَمْ تَبْطُلْ وَيَلْزَمُهُ أَنْ يَقُوْمَ عِنْدَ تَذَكُّرِهِ وَيَسْجُدَ لِلسَّهْوِ قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَغَيْرُهُ وَيَكُونُ سُجُودُ السَّهْوِ هُنَا لِزِيَادَةٍ وَنَقْصٍ ِلأَنَّهُ زَادَ جُلُوسًا فِي غَيْرِ مَوْضِعِهِ وَتَرَكَ التَّشَهُّدَ وَالْجُلُوْسَ فِي مَوْضِعِهِ وَإِنْ عَادَ جَاهِلاً بِتَحْرِيمِهِ فَوَجْهَانِ حَكَاهُمَا الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ قَالُوْا أَصَحُّهُمَا أَنَّهُ كَالنَّاسِيْ ِلأَنَّهُ يَخْفَى عَلَى الْعَوَامِّ وَبِهَذَا قَطَعَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَغَيْرُهُ ( وَالثَّانِي ) أَنَّهُ كَالْعَامِدِ ِلأَنَّهُ مُقَصِّرٌ بِتَرْكِ التَّعَلُّمِ هَذَا حُكْمُ الْمُنْفَرِدِ وَاْلإِمَامُ فِي مَعْنَاهُ فَلاَ يَجُوزُ الْعَوْدُ بَعْدَ اِلانْتِصَابِ اهـ

19. KETENTUAN MENGERASKAN BACAAN SHALAT QADLÂ’
Shalat yang dilakukan pada malam hari, seperti; Maghrib, Isya’ dan Shubuh, disunahkan mengeraskan suara. Namun semua itu dalam shalat ada’ bukan qadla’. Apabila qadlâ’ shalat Maghrib dilakukan pada siang hari, apakah sunah mengeraskan suara? Atau sebaliknya, qadlâ’ shalat Zhuhur dilakukan pada malam hari?
Jawab: Dalam shalat qadlâ’, yang menjadi pertimbangan sunah dan tidaknya mengeraskan suara adalah, waktu dimana shalat qadlâ’ dikerjakan. Jika dilakukan pada malam hari, maka sunah mengeraskan suara, walaupun qadlâ’ shalat Zhuhur, begitu juga sebaliknya.
Referensi:
&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 2 صحـ : 65 مكتبة دار الفكر
قَوْلُهُ ( وَالْعِبْرَةُ فِي الْجَهْرِ وَاْلإِسْرَارِ فِي الْفَرِيضَةِ بِوَقْتِ الْقَضَاءِ لاَ بِوَقْتِ اْلأَدَاءِ ) لَيْسَتِ الْفَرِيضَةُ قَيْدًا كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُ م ر أَمَّا الْفَائِتَةُ فَالْعِبْرَةُ فِيهَا بِوَقْتِ الْقَضَاءِ فَيَجْهَرُ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ إلَى طُلُوعِهَا وَيُسِرُّ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ وَعُلِمَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصُّبْحِ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ ثُمَّ طَلَعَتْ أَسَرَّ فِي الثَّانِيَةِ وَإِنْ كَانَتْ أَدَاءً وَهُوَ اْلأَوْجَهُ نَعَمْ يُسْتَثْنَى صَلاَةُ الْعِيْدِ فَيَجْهَرُ فِي قَضَائِهَا كَاْلأَدَاءِ كَمَا قَالَهُ اْلإِسْنَوِيُّ اهـ أَيْ ِلأَنَّهَا شُرِعَتْ جَهْرِيَّةً فِي وَقْتِ السِّرِّ فَنَاسَبَ فِي قَضَائِهَا الْجَهْرَ ِلأَجْلِ أَنْ يُحَاكِيَ الْقَضَاءُ اْلأَدَاءَ فَلَوْ قَضَى صَلاَةَ الضُّحَى لَيْلاً أَوْ وَقْتَ صُبْحٍ جَهَرَ كَمَا هُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلاَمِهِمْ ِلأَنَّ اللَّيْلَ وَوَقْتَ الصُّبْحِ مَحَلُّ الْجَهْرِ وَلاَ يَرِدُ رَكْعَتَا الْفَجْرِ وَوِتْرُ غَيْرِ رَمَضَانَ وَرَوَاتِبُ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ ِلأَنَّ اْلإِسْرَارَ وَرَدَ فِيهَا فِي مَحَلِّ الْجَهْرِ فَيُسْتَصْحَبُ عَلَى الْعَكْسِ مِنْ الْعِيدِ  اهـ

20. SHALAT SAMBIL MENAHAN KENTUT
Sebut saja mas Polo, Ia seorang yang dijuluki dengan raja kentut. Ia mampu ngentut dengan berbagai macam model, mulai dari suara yang keras memanjang, terputus-putus bahkan yang nyaris tak terdengarpun Ia bisa melakukannya. Pada suatu ketika, di tengah-tengah melakukan shalat, Ia merasa ada yang mau keluar dari perutnya (kentut). Karena dia sedang shalat, akhirnya dia menahan sampai shalatnya selesai. Apa hukum menahan kentut pada saat mau melakukan shalat?
Jawab: Makruh, jika hendak melakukan shalat. Apabila dalam keadaan shalat, menahan kentut hukumnya wajib, karena membatalkan fardlu hukumnya haram.
Referensi:
&    فتح المعين هامش إعانة الطالبين الجزء 1 صحـ : 226 مكتبة دار الفكر)
(وَ) كُرِهَ (صَلاَةٌ بِمُدَافَعَةِ حَدَثٍ) كَبَوْلٍ وَغَائِطٍ وَرِيْحٍ لِلْخَبَرِ اْلآتِيْ وَِلأَنَّهَا تُخِلُّ بِالْخُشُوْعِ بَلْ قَالَ جَمْعٌ إِنْ ذَهَبَ بِهَا بَطَلَتْ وَيُسَنُّ لَهُ تَفْرِيْغُ نَفْسِهِ قَبْلَ الصَّلاَةِ وَإِنْ فَاتَتِ الْجَمَاعَةُ وَلَيْسَ لَهُ الْخُرُوْجُ مِنَ الْفَرْضِ إِذَا طَرَأَتْ لَهُ فِيْهِ وَلاَ تَأْخِيْرُهُ إِذَا ضَاقَ وَقْتُهُ وَالْعِبْرَةُ فِي كَرَاهَةِ ذَلِكَ بِوُجُوْدِهَا عِنْدَ التَّحَرُّمِ .وَيَنْبَغِيْ أَنْ يُلْحَقَ بِهِ مَا لَوْ عَرَضَتْ لَهُ قَبْلَ التَّحَرُّمِ فَزَالَتْ وَعَلِمَ مِنْ عَادَتِهِ أَنَّهَا تَعُوْدُ إِلَيْهِ فِي الصَّلاَةِ (قَوْلُهُ بَلْ قَالَ جَمْعٌ إِلَخْ) عِبَارَةُ الْمُغْنِيْ وَنَقَلَ عَنِ الْقَاضِي حُسَيْنٍ أَنَّهُ قَالَ إِذَا انْتَهَى بِهِ مُدَافَعَةُ اْلاَخْبَثَيْنِ إِلَى أَنْ يَذْهَبَ خُشُوعُهُ لَمْ تَصِحَّ صَلاَتُهُ اهـ

21. MELIHAT NAJIS DIPAKAIAN ORANG YANG SEDANG SHALAT
Neng Aisyah termasuk diantara gadis yang paling aktif berjama’ah dibanding teman-temannya yang lain.  Pada suatu ketika, dia terlambat untuk berjama’ah di masjid. Demi pahala shalat berjama’ah, akhirnya dia muter-muter di masjid untuk mencari imam, dilalah ia menemukan Akang Rahmad yang sedang shalat. Setelah didekati, Neng Aisyah kaget, sebab dipakaian Akang Rahmad terdapat najis. Apakah bagi Neng Aisyah wajib memberitahu kepadanya?
Jawab: Wajib.
Referensi:
&    الفتاوى الفقهية الكبرى الجزء 1 صحـ : 177 مكتبة الإسلامية
وَمَنْ رَأَى مُصَلِّيًا بِنَجَسٍ لاَ يُعْفَى عَنْهُ فِي ثَوْبِهِ أَوْ مَكَانِهِ لَزِمَهُ إعْلاَمُهُ فَإِنْ تَحَقَّقَ أَنَّهُ نَاسٍ لَهُ فَاَلَّذِي يَتَّجِهُ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ يُسَنُّ إيقَاظُ النَّائِمِ لِلصَّلاَةِ وَلاَ يَجِبُ وَإِنْ ضَاقَ الْوَقْتُ أَنَّهُ لاَ يَجِبُ إعْلاَمُهُ بَلْ يُسَنُّ  اهـ

22. SHALATNYA ORANG PIKUN
Kondisi orang pikun sangat memprihatinkan. Aktivitas yang baru dilakukan saja, semisal shalat, sering kali lupa, sehingga selalu mengulanginya. Begitu juga sebaliknya, dia sering tidak shalat karena merasa sudah melakukannya. Bagaimana tinjauan fiqh terhadap kewajiban dan status shalatnya?
Jawab: Dalam keadan pikun orang tersebut tidak berkewajiban menjalankan sholat, karena sudah tidak mukallaf(tamyiz). Dan ia tidak wajib untuk meng-qadla’-i shalatnya selama pikunnya menghabiskan waktu dan timbulnya di awal waktu yang tidak muat untuk di gunakan sholat. Atau saat sadar  normal kembali dia tidak menemukan waktu yang muat untuk takbiratul al-ihram.
Referensi: 
&    المصباح المنير صحـ : 168 المكتبة العلمية
وَخَرِفَ الرَّجُلُ خَرَفًا مِنْ بَابِ تَعِبَ فَسَدَ عَقْلُهُ لِكِبَرِهِ فَهُوَ خَرِفٌ اهـ
&    اشباه والنظائر صحـ : 213 مكتبة دار الكتب العلمبة
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو إسْحَاقَ الْعَقْلُ صِفَةٌ يُمَيَّزُ بِهَا الْحَسَنُ وَالْقَبِيحُ قَالَ بَعْضُهُمْ وَيُزِيلُهُ الْجُنُونُ وَالإِغْمَاءُ وَالنَّوْمُ وَقَالَ الْغَزَالِيُّ الْجُنُونُ يُزِيلُهُ وَالإِغْمَاءُ يَغْمُرُهُ وَالنَّوْمُ يَسْتُرُهُ  قَالَ السُّبْكِيُّ وَإِنَّمَا لَمْ يَذْكُرْ الْمُغْمَى عَلَيْهِ فِي الْحَدِيثِ لأَنَّهُ فِي مَعْنَى النَّائِمِ وَذَكَرَ الْخَرِفَ فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ وَإِنْ كَانَ فِي مَعْنَى الْمَجْنُونِ لأَنَّهُ عِبَارَةٌ عَنْ اخْتِلَاطِ الْعَقْلِ بِالْكِبَرِ وَلا يُسَمَّى جُنُونًا لأَنَّ الْجُنُونَ يَعْرِضُ مِنْ أَمْرَاضٍ سَوْدَاوِيَّةِ وَيَقْبَلُ الْعِلاجَ وَالْخَرَفُ خِلافُ ذَلِكَ  وَلِهَذَا لَمْ يَقُلْ فِي الْحَدِيثِ حَتَّى يَعْقِلَ لأَنَّ الْغَالِبَ أَنَّهُ لا يَبْرَأُ مِنْهُ إلَى الْمَوْتِ قَالَ وَيَظْهَرُ أَنَّ الْخَرَفَ رُتْبَةٌ بَيْنَ الإِغْمَاءِ وَالْجُنُونِ وَهِيَ إلَى الإِغْمَاءِ أَقْرَبُ انْتَهَى وَاعْلَمْ أَنَّ الثَّلاثَةَ قَدْ يَشْتَرِكُونَ فِي أَحْكَامٍ وَقَدْ يَنْفَرِدُ النَّائِمُ عَنْ الْمَجْنُونِ وَالْمُغْمَى عَلَيْهِ تَارَةً يَلْحَقُ بِالنَّائِمِ وَتَارَةً يَلْحَقُ بِالْمَجْنُونِ وَبَيَانُ ذَلِكَ بِفُرُوعٍ الأَوَّلُ الْحَدَثُ يَشْتَرِكُ فِيهِ الثَّلاثَةُ الثَّانِي اسْتِحْبَابُ الْغُسْلِ عِنْدَ الإِفَاقَةِ لِلْمَجْنُونِ وَمِثْلُهُ الْمُغْمَى عَلَيْهِ الثَّالِثُ قَضَاءُ الصَّلاةِ إذَا اسْتَغْرَقَ ذَلِكَ الْوَقْتَ يَجِبُ عَلَى النَّائِمِ دُونَ الْمَجْنُونِ وَالْمُغْمَى عَلَيْهِ كَالْمَجْنُونِ  اهـ
&    إسعاد الرفيق الجزء 1 صحـ : 72
فَإِنْ طَرَأَ مَانِعٌ مِنْ مَوَانِعِهَا كَحَيْضٍ أَوْجُنُوْنٍ أَوْإِغْمَاءٍ وَكَانَ طُرُوُّهُ بَعْدَ مَا مَضَى مِنْ أَوَّلِ وَقْتِهَا مَا أَيْ زَمَنٌ يَسَعُهَا أَيْ يَسَعُ أَرْكَانَهَا فَقَطْ بِالنِّسْبَةِ لِمَنْ يُمْكِنُهُ تَقْدِيْمُ الطُّهْرِ عَلَى الْوَقْتِ كَسَلِمٍ غَيْرَ مُتَيَمِّمٍ وَبَعْدَ أَنْ يَمْضِيَ مِنْهُ مَا يَسَعُهَا وَطُهْرَهَا بِالنِّسْبَةِ لِمَنْ لاَيُمْكِنُهُ تَقْدِيْمُهُ لِنَحْوِ سَلِسٍ بِكَسْرِ اللَّامِ وَفَتْحِهَا كَمُتَيَمِّمٍ لَزِمَهُ بَعْدَ زَوَالِ الْمَانِعِ قَضَاؤُهَا أَيْ قَضَاءُ صَلاَةِ ذَلِكَ الْوَقْتِ ِلإِدْرَاكِهِ مِنْ وَقْتِهَا مَا يُمْكِنُهُ فِعْلُهَا فِيْهِ فَلاَ يَسْقُطُ بِمَا طَرَأَ أَوْ زَوَالُ الْمَانِعِ كَأَنْ بَلَغَ أَوْ أَفَاقَ أَوْطَهُرَتْ أَوْأَسْلَمَ وَالْحَالُ أَنَّهُ قَدْ بَقِيَ جُزْءٌ مِنَ الْوَقْتِ وَلَوْكَانَ قَدْرُ ذَلِكَ الْجُزْءِ قَدْرَ زَمَنِ تَكْبِيْرَةٍ لِلتَّحَرُّمِ لَزِمَتْهُ صَلاَةُ ذَلِكَ الْوَقْتِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا إِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ أَدَاؤُهَا فِي الْوَقْتِ بِشَرْطِ بَقَاءِ السَّلاَمَةِ مِنَ الْمَوَانِعِ قَدْرَ الصَّلاَةِ بِأَخَفِّ مُمْكِنٍ كَرَكْعَتَيْنِ لِمُسَافِرٍ وَإِنْ أَرَادَ اْلإِتْمَامَ تَغْلِيْبًا لِْلإِيْجَابِ كَاقتِدَاءِ قَاصِرٍ بِمُتِمٍّ وَقَدْرَ الطَّهَارَةِ وَكَذَا بَاقِي الشُّرُوْطِ فِيْ غَيْرِ الصَّبِيّْ وَالْكَافِرِ ِلإِمْكَانِهِمَا تَقْدِيْمُهَا عَلَى زَوَالِ مَانِعِهِمَا عِنْدَ حج وَكَذَا يَلْزَمُهُ مَا أَيِ الصَّلاَةُ الَّتِيْ قَبْلَهَا وَفِيْ نُسْخَةٍ بِخَطِّ الْمُصَنِّفِ وَمَا قَبْلَهَا وَفِيْ أُخْرَى بِخَطِّهِ أَيْضًا أَوْ مَعَ مَا قَبْلَهَا لَكِنْ لاَمُطْلَقًا بَلْ إِنْ جُمِعَتْ مَعَهَا كَالظُّهْرِ مَعَ الْعَصْرِ ِلاتِّحَادِ وَقْتِهَا فِي الْعُذْرِ فَفِي الضَّرُوْرَةِ أَوْلَى فَيَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا بِشَرْطِ بَقَاءِ السَّلاَمَةِ بَعْدَ زَوَالِ الْمَانِعِ قَدْرَهَا كَذَلِكَ وَقَدْرَ مُؤَدَّاةٍ وَجَبَتْ اهـ

23. FENOMENA PARA PENUMPANG KERETA API
Menggunakan jasa kereta api merupakan pilihan ekonomis bagi mereka yang ingin bepergian jauh. Kendati demikian, jasa kereta api tersebut tetap saja menyisakan masalah terkait dengan ibadah fardlu bagi mereka yang peduli dengan agamanya. Sebab, ketika hendak bersuci dan melakukan shalat fardlu secara sempurna, para penumpang yang berada di atas kereta terasa sangat kesulitan atau bahkan tidak bisa melakukannya. Sementara jika turun dari kereta, mereka takut ketinggalan. Apakah baginya wajib melaksanakan shalat dalam keadaan semacam di atas?
Jawab: Tetap wajib shalat sebisa mungkin, dalam rangka untuk menghormati waktu shalat. Dan baginya harus meng-qadlâ’-inya.
Referensi:
&    المجموع  الجزء 3 صحـ : 223 مكتبة مطبعة المنيرية
( فَرْعٌ ) قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الإِعَادَةُ لأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ هَكَذَا ذَكَر الْمَسْأَلَةَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ صَاحِبُ التَّهْذِيبِ وَالرَّافِعِيُّ وَقَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ يُصَلِّي عَلَى الدَّابَّةِ كَمَا ذَكَرْنَا قَالَ وَوُجُوبُ الْإِعَادَةِ يَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ أَحَدَهُمَا لا تَجِبُ كَشِدَّةِ الْخَوْفِ وَالثَّانِي تَجِبُ لأَنَّ هَذَا نَادِرٌ اهـ

24. TIDUR SEHABIS KECAPE’AN MAIN CATUR
Adalah mas Mujib yang hebat dalam bermain catur di kampungnya. Ia pecatur terbaik diantara teman-temannya dan sering memenangkan kejuaraan catur walaupun hanya ditingkat RT. Namun akibat hobinya itu, Ia sering tidak shalat Shubuh karena kelelahan setelah semalaman bermain catur. Bagaimana hukum tidur sebelum masuknya waktu Shubuh, padahal dipastikan tidak akan bangun karena kelelahan ngobrol, sampai waktu Shubuh sudah keluar?
Jawab: Boleh, karena saat tidur ia belum terkena kewajiban melakukan shalat Shubuh. Namun jika yakin, bahwa tidur sehabis bermain catur semalaman, Ia tidak akan bangun untuk shalat Shubuh, maka hukumnya haram.
Referensi:
&    فتاوى الرملي الجزء 1 صحـ : 115 مكتبة الإسلامية
( سُئِلَ ) عَمَّنْ نَامَ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِ فَرِيضَةٍ كَالصُّبْحِ وَغَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ بِمُقْتَضَى عَادَتِهِ أَنَّهُ لا يَسْتَيْقِظُ إلا بَعْدَ خُرُوجِهِ هَلْ يَحْرُمُ نَوْمُهُ الْمَذْكُورُ أَمْ لا فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لا يَحْرُمُ نَوْمُهُ الْمَذْكُورُ لِعَدَمِ خِطَابِهِ بِفِعْلِهَا أَمَّا قَبْلَ وَقْتِهَا فَظَاهِرٌ وَأَمَّا بَعْدَهُ حَالَ نَوْمِهِ فَلِرَفْعِ الْقَلَمِ عَنْهُ حِينَئِذٍ بِخِلافِ نَوْمِهِ فِيهِ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ إلا إنْ عَلِمَ أَوْ ظَنَّ تَيَقُّظَهُ وَفِعْلَهَا فِيهِ  اهـ
&    شرح الياقوت النفيس صحـ : 126 مكتبة دار المنهاج
وَلاَ عُذْرَ فِيْ تَرْكِهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ اْلإِنْسَانُ مُتَلَبِّسًا بِوَاحِدٍ مِنْ أَرْبَعَةِ أَعْذَارٍ : اْلأَوَّلُ النَّوْمُ إِذَا غَلَبَ اْلإِنْسَانَ النَّوْمُ وَكَانَ نَوْمُهُ قَبْلَ دُخُوْلِ الْوَقْتِ وَلَمْ يَتَنَبَّهْ إِلاَّ بَعْدَ خُرُوْجِ وَقْتِ الصَّلاَةِ فَهَذَا مَعْذُوْرٌ وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ لَكِنْ مَنْ يَقْضِيْ مُعْظَمَ اللَّيْلِ فِيْ سَمَرٍ فَإِذَا عَرَفَ أَنَّهُ لاَ يَسْتَطِيْعُ الْقِيَامَ لِصَلاَةِ الْفَجْرِ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ السَّهَرُ وَمَنْ جَعَلَ السَّمَرَ لَهُ عَادَةً فَإِنَّهُ لاَ يُعْذَرُ فَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ سَيَقُوْمُ أَوْعَرَفَ أَنَّ شَخْصًا سَيُوْقِظُهُ جَازَ وَعَنِ الرَّمْلِيِّ : لاَ يَأْثَمُ مَنْ نَامَ قَبْلَ الْوَقْتِ وَإِنْ عَرَفَ الْفَوَاتَ إِذْ هُوَ غَيْرُ مُخَاطَبٍ بِهَا قَبْلَ وَقْتِهَا اهـ

25. LUPA SHALAT KARENA SIBUK
Bicara soal lupa dan salah memang tidak mungkin lepas dari kehidupan manusia. Sebut saja pak Ihsan, karena saking sibuknya mengurusin tamu yang tak henti-hentinya berdatangan pada acara resepsi pernikahan anaknya, ia lupa tidak melakukan shalat. Apakah lupa tidak melaksanakan shalat karena sibuk sebagaimana dalam kasus di atas berdampak hukum haram?
Jawab: Tidak haram, selama ada tujuan mau melakukan shalat dan tidak didasari dengan kecerobohan.
Referensi:
&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 1 صحـ : 406 مكتبة دار الفكر
أَمَّا إذَا لَمْ يُعْذَرْ فِيهِ كَأَنْ نَشَأَ عَنْ لَعِبِ نَحْوِ شِطْرَنْجٍ فَإِنَّهُ تَجِبُ الْمُبَادَرَةُ لِلْقَضَاءِ شَوْبَرِيٌّ أَيْ لأَنَّ لَعِبَ الشِّطْرَنْجِ مَكْرُوهٌ وَبَقِيَ مَا لَوْ دَخَلَ الْوَقْتُ وَعَزَمَ عَلَى الْفِعْلِ ثُمَّ تَشَاغَلَ فِي مُطَالَعَةٍ أَوْ صَنْعَةٍ أَوْ نَحْوِهِمَا حَتَّى خَرَجَ الْوَقْتُ وَهُوَ غَافِلٌ هَلْ يَحْرُمُ عَلَيْهِ ذَلِكَ أَوْ لا ؟ فِيهِ نَظَرٌ وَالأَقْرَبُ الثَّانِي لأَنَّ هَذَا نِسْيَانٌ لَمْ يَنْشَأْ عَنْ تَقْصِيرٍ مِنْهُ كَمَا قَالَهُ ع ش عَلَى م ر.

26. NIAT SHALAT TIDAK BERSAMAAN TAKBIR
Diantara rukun shalat yang paling esensial adalah niat. Dimana dalam pelaksanaannya harus berbarengan dengan awalnya bacaan takbîrat al-ihrâm. Namun bagi kalangan masyarakat umum, hal itu (niat bersamaan dengan mengucapkan awalnya takbir) sangat sulit sekali dilakukan. Apakah niat yang tidak bersamaan dengan awalnya bacaan takbir sudah dianggap cukup?
Jawab: Sudah dianggap cukup. Yang penting dalam shalatnya harus berniat meskipun tidak bersamaan.
Referensi:
&    المجموع الجزء 3 صحـ : 243 مكتبة مطبعة المنيرية
وَاخْتَارَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ فِي الْبَسِيطِ وَغَيْرُهُ أَنَّهُ لا يَجِبُ التَّدْقِيقُ الْمَذْكُورُ فِي تَحْقِيقِ مُقَارَنَةِ النِّيَّةِ وَأَنَّهُ تَكْفِي الْمُقَارَنَةُ الْعُرْفِيَّةُ الْعَامِّيَّةُ بِحَيْثُ يُعَدُّ مُسْتَحْضِرًا لِصَلاتِهِ غَيْرَ غَافِلٍ عَنْهَا اقْتِدَاءً بِالأَوَّلِينَ فِي تَسَامُحِهِمْ فِي ذَلِكَ وَهَذَا الَّذِي اخْتَارَاهُ هُوَ الْمُخْتَارُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
&    فوائد الجنية  الجزء الأول  صحـ : 155 مكتبة دار الفكر
وَفِى الْمَجْمُوْعِ واَلتَّنْقِيْحِ الْمُخْتَارُ مَا إِخْتَارَهُ اْلإِمَامُ الْغَزَالِيُّ أَنًّهُ تَكْفِيْ الْمُقَارَنَةُ الْعُرْفِيَّةُ بِأَنْ يُوْجَدَ النِّيَّةُ كُلُّهَا أَوْ بَعْضُهَا فِى أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ بِحَيْثُ يُعَدُّ مُسْتَحْضِرًا لِلصَّلاَةِ عِنْدَ الْعَوَامِ  اهـ

27. MENELAN LUDAH YANG BERAROMA MAKANAN SAAT SHALAT
Kepuasan bukan dilihat dari kenyang dan banyaknya makanan, tapi tergantung pada selera masing-masing. Ada yang sukanya pedas, manis, bahkan ada juga yang sukanya asin-asin. Tak pelak sisa-sisa aroma makanan masih sangat terasa dimulut meskipun sesudah berkumur. Apakah menelan ludah yang masih beraroma makanan atau minuman dapat membatalkan shalat?
Jawab: Tidak membatalkan.
Referensi:
&    حاشية الجمل الجزء 1 صحـ : 436 مكتبة دار الفكر
أَمَّا مُجَرَّدُ الطَّعْمِ الْبَاقِي مِنْ أَثَرِ الطَّعَامِ فَلا أَثَرَ لَهُ لانْتِفَاءِ وُصُولِ الْعَيْنِ إلَى جَوْفِهِ وَلَيْسَ مِثْلُ ذَلِكَ الأَثَرُ الْبَاقِي بَعْدَ الْقَهْوَةِ مِمَّا يُغَيِّرُ لَوْنَهُ أَوْ طَعْمَهُ فَيَضُرُّ ابْتِلَاعُهُ لأَنَّ تَغَيُّرَ لَوْنِهِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِهِ عَيْنًا وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ بِعَدَمِ الضَّرَرِ لأَنَّ مُجَرَّدَ اللَّوْنِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ اكْتَسَبَهُ الرِّيقُ مِنْ مُجَاوَرَتِهِ لِلأَسْوَدِ مَثَلا وَهَذَا هُوَ الأَقْرَبُ أُخِذَ مِمَّا قَالُوهُ فِي طَهَارَةِ الْمَاءِ إذَا تَغَيَّرَ بِمُجَاوِرٍ  اهـ

28. PERBEDAAN WAKTU ANTAR NEGARA TERKAIT SHALAT
Seseorang yang telah melaksanakan shalat Maghrib di rumahnya, melakukan perjalanan ke negara lain. Sesampainya di Negara tujuan, ternyata matahari di daerah setempat belum terbenam (waktu Magrib belum masuk). Apakah dia wajib mengulangi shalat Magrib lagi?
Jawab: Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat, pendapat yang pertama tetap wajib mengulangi shalatnya. Sedangkan menurut pendapat yang kedua, shalat yang sudah dilakukan tidak harus diulangi lagi.
Referensi:
&    تحفة المحتاج في شرح المنهاج  الجزء 3 صحـ : 384 مكتبة دار إحياء التراث العربي
فَرْعٌ لَوْ صَلَّى الْمَغْرِبَ فِي بَلَدٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ ثُمَّ سَارَ لِبَلَدٍ مُخْتَلِفَةِ الْمَطْلَعِ مَعَ الأُولَى فَوَجَدَ الشَّمْسَ لَمْ تَغْرُبْ فِيهَا فَهَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ إعَادَةُ الْمَغْرِبِ كَمَا فِي نَظِيرِهِ مِنْ الصَّوْمِ أَوْ لا كَمَا لَوْ صَلَّى الصَّبِيُّ ثُمَّ بَلَغَ فِي الْوَقْتِ لا يَلْزَمُهُ إعَادَةُ الصَّلاةِ تَرَدُّدٌ وَالأَوَّلُ مَا أَفْتَى بِهِ شَيْخُنَا الشِّهَابُ الرَّمْلِيُّ وَالثَّانِي هُوَ مَا اعْتَمَدَهُ بِخَطِّهِ فِي هَامِشِ شَرْحِ الرَّوْضِ وَيُوَجَّهُ الثَّانِي بِالْفَرْقِ بَيْنَ الصَّلاةِ وَالصَّوْمِ بِأَنَّ مِنْ شَأْنِ الصَّلاةِ أَنْ تُكَرَّرَ وَتَكْثُرَ فَلَوْ أَوْجَبْنَا الإِعَادَةَ كَانَ مَظِنَّةَ الْمَشَقَّةِ أَوْ كَثْرَتَهَا وَبِأَنَّ مِنْ لازِمِ الصَّوْمِ فِي الْمَحَلِّ الْوَاحِدِ الاتِّفَاقَ فِيهِ فِي وَقْتِ أَدَائِهِ بِخِلَافِ الصَّلاةِ فَإِنَّ مِنْ شَأْنِهَا التَّقَدُّمَ وَالتَّأَخُّرَ فِي الأَدَاء




b