Aku Berfikir, Maka Aku Ada

Sunday, October 23, 2016

menyamak kang santri




BAB MENYAMAK
(Dlibâgh; Tanning)

Pengertian [1]
Menyamak adalah salah satu cara mensucikan benda dari najis, yaitu benda najis yang berupa kulit bangkai, baik kulit bangkai hewan yang halal dagingnya atau tidak, kecuali kulit anjing dan babi serta peranakannya. Cara mensucikan dengan menyamak termasuk mensucikan dengan cara perubahan bentuk (istihâlah), mirip sucinya arak ketika telah berubah bentuk menjadi cukak dan sucinya bangkai setelah menjadi belatung.

Hukum dan Dalil
Hukum menyamak adalah mubâh (diperbolehkan), karena  menyamak merupakan media untuk menghilangkan kotoran dan kuman yang terdapat dalam kulit hewan supaya menjadi suci, sehingga kulit tersebut bisa dimanfaatkan.
Diantara dalil yang menjadi pedoman madzhab Syafi'i dalam hal ini ialah dua Hadits shahih berikut [2]:

إِذَا دُبِغَ اْلإِهَابُ فَقَدْ طَهُر َ.)رواه مسلم(
"Ketika kulit bangkai disamak maka akan menjadi suci" (H.R. Muslim)

 أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ .)رواه النسائي(
"Kulit hewan apapun yang telah disamak benar-benat telah suci."(H.R. An-Nasâi)

Kedua Hadits ini, disamping menunjukkan hukum mubâh menyamak juga menjelaskan bahwa semua kulit bangkai dapat disamak dan dapat disucikan. Disamping itu, kulit hewan selain anjing dan babi serta perakannya ketika masih hidup dihukumi suci, dan kulit tersebut berubah menjadi najis hanya karena hewan tersebut telah menjadi bangkai, sehingga kulit tersebut semestinya dapat disucikan, tak ubahnya seperti kulit hewan sembelihan yang terkena najis dapat disucikan kembali [3].
Binatang yang dihukumi najis ketika hidupnya, seperti anjing dan babi serta peranakannya dikecualikan dari keumuman redaksi Hadits di atas, sehingga tidak dapat disucikan dengan disamak. Hal ini berdasarkan pada keterangan sebuah Hadits :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ الْجُهَنِىّ ِt قَالَ أَتَانَا كِتَابُ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ بِأَرْضِ جُهَيْنَةَ وَأَنَا غُلاَمٌ شَابٌّ « أَنْ لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلاَ عَصَبٍ .(رواه أحمد)
“Dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim al-Juhany t, Beliau Berkata ; Telah sampai kepada kita surat dari Nabi e waktu kami masih berada di daerah Juhainah dan saya masih muda, yang isinya ialah “janganlah kalian semua memanfaatkan kulit dan otot bangkai”.”(H.R. Ahmad).

Keumuman Hadits di atas mencakup segala macam kulit bangkai. Dikecualikan dari keumuman Hadits tersebut, kulit bangkai yang telah disamak, sehingga dapat dimanfatkan. Pengecualian ini berdasarkan dua Hadits yang telah disebutkan sebelumnya (H.R. Muslim & H.R. An-Nasâi). Akan tetapi pengecualian ini tidak mengikutkan kulit anjing dan babi, sehingga masih termasuk dalam keumuman larangan penggunaan kulit bangkai dalam Hadits di atas. Dan juga, najis anjing dan babi terletak pada badan binatang tersebut, sehingga tidak dapat disucikan, seperti darah dan nanah yang tidak dapat disucikan karena benda tersebut memang merupakan barang najis. Berbeda dengan baju yang terkena najis, dapat disucikan karena baju tersebut bukan benda najis.
Alasan berikutnya ialah ; jika keadaan hidup seekor anjing saja tidak menjadikannya suci, apalagi hanya sekedar menyamak [4].

Mekanisme Menyamak [5]
Tata cara menyamak ialah :
1.    Menghilangkan sisa-sisa kotoran yang menempel pada kulit bangkai, seperti darah dan daging yang masih melekat, dan seandainya dibiarkan akan membuat kulit tersebut menjadi busuk. Hal ini terus dilakukan sampai kulit betul-betul bersih dari sisa-sisa kotoran yang masih melekat, sampai kulit terlihat bersih dan bagus, sehingga jika direndam ke dalam air, maka tidak akan rusak dan tidak berbau busuk.
2.    Mensucikan kulit dengan dibasuh air yang suci mensucikan. Hal ini dilakukan karena setatus kulit yang telah disamak telah menjadi mutanajjis, sebab darah dan kotoran yang pernah melekat.

Media Menyamak [6]
Proses penyamakan harus mengunakan benda-benda yang mempunyai rasa pahit dan sepat, baik berupa benda suci atau najis, seperti kotoran burung, daun salam dan lain sebagainya. Rasulullah r bersabda tentang bangkai kambing milik seorang sahabat wanita, Maimunah t :

 لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَقَالُوْا إِنَّهَا مَيِّتَةٌ  فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطَهِّرُهُ الْمَاءُ وَالْقَرَظُ  . )رواه أبو داود والنسا ئي(
"Ambillah kulitnya". Para sahabat berkata ; "Sesungguhnya kambing itu telah menjadi bangkai". Beluai bersabda ; "Kulitnya dapat disucikan dengan air dan kulit kayu qordh". (H.R. Abû Dâwûd & an-Nasâi).

Teks Hadits di atas memberi kesimpulan, bahwa dalam proses menyamak harus dengan menggunakan benda-benda yang mempunyai rasa sepat. penyebutan daun akasia atau daun salam dalam Hadits di atas hanyalah sebagai contoh, sehingga sesuatu yang mempunyai kesamaan dengannya juga dapat digunakan sebagai alat menyamak [7]. Menurut Habib Muhammad bin Ahmad as-Syâthiry dalam kitab Syarh Yâqût an-Nafîs, menyamak dapat juga menggunakan benda-bensa masa kini yang mampu menghasilkan tujuan manyamak (membersihkan kulit bangkai), termasuk benda-benda yang terbuat dari zat-zat kimia [8].  []


























1.  STANDAR BAHAN YANG BISA UNTUK MENYAMAK
Dalam literatur fiqh diterangkan bahwa cara menyamak kulit bangkai selain anjing dan babi adalah menghilangkan kotoran-kotoran yang masih terdapat pada kulit bangkai. Disamping itu, cara menghilangkannya dengan menggunakan الْحِرِّيْفُ. Sebatasmana yang dinamakan  الْحِرِّيْفُ?
Jawab: Hirrîf adalah setiap sesuatu yang mempunyai rasa pahit dan sepet baik dari benda suci atau najis seperti kotoran burung, daun salam atau daun akasia.
Referensi:
&    تحفة المحتاج في شرح المنهاج الجرء 1 صحـ : 309 مكتبة دار إحياء التراث العرابي
( بِحِرِّيفٍ ) وَهُوَ مَا يَلْذَعُ اللِّسَانَ بِحَرَافَتِهِ  كَقَرَظٍ وَشَبٍّ بِالْمُوَحَّدَةِ وَشَثٍّ بِالْمُثَلَّثَةِ وَذَرْقِ طَيْرٍ لِلْخَبَرِ الْحَسَنِ يُطَهِّرُهَا أَيِ الْمَيْتَةَ الْمَاءُ وَالْقَرَظُ اهـ

2.  MENYAMAK DENGAN TERIK MATAHARI
Karena permintaan tas kulit macan tutul dari kosumen begitu membengkak, para perajin tas berinisiatif menyamak kulit tutul dengan cara dikeringkan di bawah terik matahari. Dengan tujuan supaya bisa memasok tas sebanyak-banyaknya. Apakah dianggap cukup menyamak dengan praktek di atas?
Jawab: Belum cukup, karena terik matahari tidak mampu menghilangkan kotoran yang nempel pada kulit. Namun menurut Imam Abu Hanîfah mengeringkan kulit dengan matahari dianggap cukup.
Referensi:
&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 1 صحـ : 143 مكتبة دار الكتب العلمية
وَلا يَكْفِي التَّجْمِيْدُ بِالتُّرَابِ وَلا بِالشَّمْسِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا لا يَنْزَعُ الْفُضُولَ وَإِنْ جَفَّ الْجِلْدُ وَطَابَتْ رَائِحَتُهُ ِلأنَّ الْفُضُلاَتِ لَمْ تَزَلْ وَإِنَّمَا جَمَدَتْ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ نُقِعَ فِي الْمَاءِ عَادَتْ إلَيْهِ الْعُفُونَةُ وَيَصِيرُ الْمَدْبُوغُ كَثَوْبٍ مُتَنَجِّسٍ لِمُلاقَاتِهِ لِلأَدْوِيَةِ النَّجِسَةِ اهـ
&    ترشيح المستفيدين صحـ : 39 مكتبة الحرمين
وَلَيْسَ لِلنَّارِ وَالشَّمْسِ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ تَأْثِيْرًا إِلاَّ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ حَتَّى أَنَّ جِلْدَ الْمَيِّتَةِ إِذَا جِفَّ فِي الشَّمْسِ طَهُرَ عِنْدَهُ بِلاَ دَبْغٍِ اهـ

3.  PIPA ROKOK DARI GADING GAJAH

Bagi orang yang berduit, segala sesuatu yang sulit akan menjadi mudah, apapun yang diinginkan semuanya akan bisa ia dapatkan. Bahkan, kekuatan dan pengaruh dari uang dapat menyulap gading gajah menjadi pipa roko’. Bagaimana hukum menggunakan pipa rokok yang terbuat dari gading gajah?
Jawab: Hukumnya makruh, jika tulang tersebut dalam keadaan kering. Namun bila basah, maka haram. Menurut Abu Hanîfah tulang atau gading gajah hukumnya suci.
Referensi:
&    المجموع الجزء 1 صحـ : 83 مكتبة مطبعة المنيرية
وَسَيَأْتِيْ كَلامُ اْلأَصْحَابِ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى فِي عَظْمِ الْفِيْلِ أَنَّهُ يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْيَابِسِ وَلا يَحْرُمُ وَمِمَّنْ صَرَّحَ فِي عَظْمِ الْفِيْلِ بِكَرَاهَةِ اسْتِعْمَالِهِ فِي الْيَابِسِ وَتَحْرِيْمِهِ فِي الرَّطْبِ الشَّيْخُ نَصْرٌ فَدَلَّ أَنَّ مُرَادَهُ هُنَا اسْتِعْمَالُهُ فِي الرَّطْبِ وَأَمَّا قَوْلُ الْعَبْدَرِيِّ لا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ قَبْلَ الدِّبَاغِ فِي الْيَابِسَاتِ عِنْدَنَا وَعِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ فَغَلَطٌ مِنْهُ وَصَوَابُهُ أَنْ يَقُولَ فِي الرَّطَبَاتِ  اهـ
&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 1 صحـ : 100 مكتبة دار الفكر
( وَعَظْمُ ) الْحَيَوَانَاتِ ( الْمَيِّتَةِ وَشَعْرُهَا ) وَقَرْنُهَا وَظُفْرُهَا وَظِلْفُهَا ( نَجِسٌ ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى { حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ } قَوْلُهُ ( وَقَرْنُهَا ) وَكَذَا سِنُّهَا وَحَافِرُهَا وَقَدْ يَشْمَلُ جَمِيعَ ذَلِكَ الْعَظْمُ وَحِينَئِذٍ فَيَكُوْنُ مِنْ عَطْفِ الْجُزْءِ عَلَى كُلِّهِ وَكَذَا لَبَنُهَا وَبَيْضُهَا إنْ لَمْ يَتَصَلَّبْ وَمِسْكُهَا إنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ لِلْوُقُوْعِ وَقَالَ أَبُوْ حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ بِطَهَارَةِ الشَّعْرِ وَالصُّوْفِ وَالْوَبَرِ زَادَ أَبُوْ حَنِيفَةَ فَقَالَ بِطَهَارَةِ الْقَرْنِ وَالسِّنِّ وَالْعَظْمِ وَالرِّيْشِ إذْ لاَ رُوْحَ فِيهِ وَقَالَ مَالِكٌ بِطَهَارَةِ الشَّعْرِ وَالصُّوْفِ وَالْوَبَرِ مُطْلَقًا سَوَاءٌ كَانَ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ كَالنَّعَمِ أَوْ لاَ يُؤْكَلُ كَالْكَلْبِ وَالْحِمَارِ اهـ شَعْرَانِيٌّ فِي الْمِيزَانِ اهـ

4.  MENGKONSUMSI KULIT YANG DISAMAK
Menyamak adalah salah satu cara yang ditawarkan syariat untuk mensucikan kulit bangkai, baik kulit bangkai hewan yang halal dagingnya ataupun yang tidak, kecuali kulit anjing dan babi serta peranakannya. Apakah diperbolehkan mengkonsumsi kulit yang sudah disamak?
Jawab: Ada tiga pendapat ulama' dalam hal ini:
@ Pertama, pendapat yang kuat ( الأصح ), haram mengkonsumsinya.
@ Kedua, mutlak boleh memakannya.
@ Ketiga, diperinci; jika hewan tersebut berasal dari hewan yang halal dimakan, maka boleh mengkonsumsinya. Jika bukan, maka haram.
Referensi:
&    المجموع الجزء 9 صحـ : 41 مكتبة مطبعة المنيرية
جِلْدُ الْمَيْتَةِ الْمَدْبُوغُ فِي أَكْلِهِ ثَلاثَةُ أَقْوَالٍ أَوْ أَوْجُهٍ سَبَقَتْ فِي بَابِ اْلآنِيَةِ أَصَحُّهَا أَنَّهُ حَرَامٌ وَالثَّانِيْ حَلالٌ وَالثَّالِثُ إنْ كَانَ جِلْدَ حَيَوَانٍ مَأْكُوْلٍ فَحَلالٌ وَإِلاَّ فَلاَ  اهـ
&    المجموع الجزء 1 صحـ : 284 مكتبة مطبعة المنيرية
قَالَ الْمُصَنِّفُ رحمه الله تعالى وَهَلْ يَجُوْزُ أَكْلُهُ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ مِنْ حَيَوَانٍ يُؤْكَلُ فَفِيْهِ قَوْلاَنِ قَالَ فِي الْقَدِيْمِ لا يُؤْكَلُ لِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم { إنَّمَا حَرُمَ مِنْ الْمَيْتَةِ أَكْلُهَا } وَقَالَ فِي الْجَدِيْدِ يُؤْكَلُ ِلأنَّهُ جِلْدٌ طَاهِرٌ مِنْ حَيَوَانٍ مَأْكُوْلٍ فَأَشْبَهَ جِلْدَ الْمُذَكَّى وَإِنْ كَانَ مِنْ حَيَوَانٍ لا يُؤْكَلُ لَمْ يَحِلَّ أَكْلُهُ ِلأنَّ الدِّبَاغَ لَيْسَ بِأَقْوَى مِنْ الذَّكَاةِ وَالذَّكَاةُ لا تُبِيْحُ مَا لاَ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ فَلَأَنْ لاَ يُبِيْحَهُ الدِّبَاغُ أَوْلَى وَحَكَى شَيْخُنَا أَبُو حَاتِمٍ الْقَزْوَينِْيُّ عَنْ الْقَاضِي أَبِي الْقَاسِمِ بْنِ كج أَنَّهُ حَكَى وَجْهًا آخَرَ أَنَّهُ يَحِلُّ ِلأَنَّ الدِّبَاغَ عَمِلَ فِي تَطْهِيرِهِ كَمَا عَمِلَ فِي تَطْهِيرِ مَا يُؤْكَلُ فَعَمِلَ فِي إبَاحَتِهِ بِخِلافِ الذَّكَاةِ  اهـ

5.  KULIT YANG TERKELUPAS DARI HEWAN HIDUP
Dalam dunia peternakan hewan liar, sering kali terjadi perkelaihan antara hewan satu dengan yang lain. Sehinggga terkadang menyebabkan terkelupasnya kulit, bahkan fatalnya sampai titik kematian. Apakah kulit hewan yang terpisah dari hewan yang masih hidup bisa disamak seperti halnya kulit bangkai?
Jawab: Ya, bisa disamak.
Referensi:
&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 1 صحـ : 99 مكتبة دار الفكر
قَوْلُهُ ( الْمَيِّتَةِ ) أَيْ وَكَذَا جُلُودُ الْحَيِّ الَّذِيْ يَنْجُسُ بِالْمَوْتِ وَإِنَّمَا قَيَّدَ بِالْمَيِّتَةِ لِلْغَالِبِ فَلَوْ سُلِخَ جِلْدُهُ مَعَ حَيَاتِهِ طَهُرَ أَيْضًا بِالدِّبَاغِ اهـ م د

6.  HUKUM BULU YANG TERSISA SETELAH DISAMAK
Para perajin, umumnya bervariasi dalam menyamak kulit hewan agar menghasilkan motif dan corak yang menarik konsumen. Salah satunya dengan cara menyamak kulit yang bulu-bulunya masih utuh tanpa dihilangkan supaya terkesan hidup. Bagaimana setatus bulu-bulu yang tersisa di kulit yang sudah disamak?
Jawab: Hukumnya di-ma’fû jika bulu yang tersisa tersebut sedikit. Namun bila masih banyak maka hukumnya najis. Menurut Imam Syubki hukumnya suci walaupun bulunya banyak.
Referensi:

&    حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 1 صحـ : 100 مكتبة دار الفكر
وَخَرَجَ بِالْجِلْدِ الشَّعْرُ لِعَدَمِ تَأَثُّرِهِ بِالدَّبْغِ قَالَ النَّوَوِيُّ وَيُعْفَى عَنْ قَلِيلِهِ قَوْلُهُ ( وَيُعْفَى عَنْ قَلِيْلِهِ ) فَهُوَ نَجِسٌ مَعْفُوٌّ عَنْهُ خِلافًا لِمَنْ قَالَ طَاهِرٌ تَبَعًا لِلْجِلْدِ كَدَنِّ الْخَمْرِ لِلْفَرْقِ فَإِنَّ الْقَوْلَ بِطَهَارَةِ دَنِّ الْخَمْرَةِ لِلضَّرُورَةِ إذْ لَوْلاَ الْحُكْمُ بِطَهَارَتِهِ لَمْ يُوجَدْ طَهَارَةُ خَلٍّ أَصْلاً عَنْ خَمْرٍ وَلا ضَرُورَةَ إلَى طَهَارَةِ الشَّعْرِ ِلإِمْكَانِ إزَالَتِهِ وَِلأنَّهُ يُنْتَفَعُ بِالْجِلْدِ لاَ مِنْ جِهَةِ الشَّعْرِ أَمَّا الْكَثِيرُ فَلاَ يُعْفَى عَنْهُ أَصْلاً عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَاخْتَارَ السُّبْكِيُّ تَبَعًا لِلنَّصِّ وَجَمْعٌ مِنَ اْلأَصْحَابِ طَهَارَةَ الشَّعْرِ وَإِنْ كَثُرَ وَقَالَ هَذَا لاَ شَكَّ فِيهِ عِنْدِيْ وَهَذَا الَّذِيْ أَعْتَقِدُهُ وَأُفْتَي بِهِ اهـ سم وَبِهِ قَالَ الأَمَامُ أَبُوْ حَنِيفَةَ اهـ
b


[1]   Hasan bin Ahmad, Taqrîrât as-ٍSadîdah, hlm. 130.
[2]   An-Nawawy, al-Majmû’, vol. I, hlm. 273. 
[3]   An-Nawawy, al-Majmû’, vol. I, hlm. 276.
[4]   Abû al-Hasan al-Mâwardy, al-Hâwi al-Kabîr, (Lebanon : Dâr al-Fikr, 1414 H./1994 M.),
    vol. I, hlm. 59-60.
[5]   Muhammad al-Hasany, Kifâyah al-Akhyâr, vol. I, hlm. 12.
[6]   Sulaiman Al-bujairamy, Hasyiyah al-Bujairamy ‘alâ al-Khatîb, vol. I, hulm.99.
[7]   An-Nawawy, al-Majmû’, vol. I, hlm. 281-282.
[8]   Muhammad asy-Syâthiry, Syarh  al-Yâqût an-Nafîs, hlm. 63

0 komentar:

Post a Comment