Makalah
PENDIDIKAN PADA ZAMAN KEKHALIFAHAN
TURKI USMANI DAN SAFAWI
BAB I
PENDAHULUAN
KERAJAAN
TURKI USMANI
A.
Latar
belakang Berdirinya Kekhalifahan Turki Usmani
Sejarah mencatat, bahwa setelah
terjadinya penyerangan tentang mongol yang di pimpin Hulagu Khan pada tahun
1258, kekuassan Islam yang bepusat di Baghdad mengalami kehancuran yang amat
signifikan. Kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastic. Wilayah
kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain
bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak
yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Keadaan ini semakin diperparah
oleh serangan dari Timur Lenk yang datang menghancurkan pusat-pusat kekuasaan
Islam yang lain.
Namun demikian, kehancuran dunia
Islam tidak merata. Diseluruh dunia Islam, masih terdapat pilar-pilar penyangga
yang melanjutkan kejayaan dunia Islam. Pilar tersebut adalah kekhalifahan Turki
Usmani di Turki, kekhalifahan Mughal di India, dan kekhalifahan Safawi di
Persia. Di antara tiga kekhalifahan Islam yang muncul pada abad pertengahan
ini, kekhalifahan Turki Usmani termasuk yang pertama berdiri dan juga yang
terbesar dan paling lama bertahan dibandingkan dua kerajaan lainnya.[1]
Secara historis, bangsa Turki Usmani
berasal dari keluarga Qabey, salah satu kabilah Al-Ghaz Al-Turky, yang mendiami
Turkistan.[2]
Mereka masuk Islam ketika abad ke 9 atau ke 10, ketika mereka menetap di Asia
Tengah. Akibat ada tekanan tentara Mongol yang terus merangsek dan memburu suku
tersebut, akhirnya mereka pindah ke arah barat hingga mereka bergabung dengan
saudara keturunan, yakni orang Turki Saljuq, di dataran tinggi Asia Kecil.[3]
Kekhalifahan Usmani didirikan oleh bangsa Turki dari Qabilah Oguz yang
menguasai daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu
kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak.
Sejak itulah kerajaan Usmani
dinyatakan berdiri dengan pimpinan pertamannya Usman, yang selanjutnya disebut
sebagai Usman I (1300-1326). Pimpinan kekhalifahan Turki ini selanjutnya
dipegang oleh Orkhon (1326-1359).
Secara umum, para khalifah Usmani
sebagaimana tersebut di atas, banyak memanfaatkan masa kekuasaannya untuk
memperluas wilayah kekuasaan, membangun militer, dan pemerintahan yang kuat.
Keadaan ini sebuah program utama, mengingat cara giografis dan politis,
kekhalifahan ini berhadapan dengan kekausaan Eropa yang setiap saat dapat
menghancurkan kekhalifahan Usmani. Ketika Usmani I berkuasa misalnya, kekuasaan
khalifah Usmani dapat diperluas hingga ke daerah perbatasan Bizantium dan
menahlukkan kota Brossa.
B. Rumusan pembahasan
1. Bagaimana sejarah kerajaan Turki
Utsmani?
2.
Bagaimana
pendidikan Pada Masa Turki Utsmani?
3.
Bagaimana
sistem Pengajaran di Turki?
4.
Siapakah
ulama-ulama yang Termashur Pada Masa Turki Utsmani?
5.
Bagaimana
perpustakaan Pada Masa Turki Utsmani?
6. Bagaimana sejarah kerajaan Syafawi?
7.
Bagaimana keadaan Sistem Pendidikan pada masa
kerajaan Syafawi?
C. Tujuan pembahasan
1.
Mengetahui sejarah kerajaan Turki Utsmani
2.
Mengetahui pendidikan Pada Masa Turki Utsmani
3.
Mengetahui sistem Pengajaran di Turki
4.
Mengetahui ulama-ulama yang Termashur Pada Masa Turki Utsmani
5.
Mengetahui perpustakaan Pada Masa Turki Utsmani
6.
Mengetahui sejarah kerajaan Syafawi
7.
Mengetahui keadaan Sistem
Pendidikan pada masa kerajaan Syafawi
BAB II
PEMBAHASAN
KERAJAAN
TURKI UTSMANI
A. Sekilas Tentang Kerajaan Turki Utsmani
Pendiri bangsa ini adalah Bangsa
Turki dan kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri
Cina dalam masa waktu sekitar tiga abad, mereka pindah ke-Turkistan Persia dan
Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke 9 atau ke 10 di bawah pimpinan
Ortoghol. Mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin, Sultan Seljuk yang
kebetulan berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin
memperoleh kemenangan. Atas jasa baik mereka itu, Alauddin menghadiahkan
sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka
terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukut sebagai Ibu Kota.
Sebelum meninggal, Utsman menunjuk
(untuk menggantikan posisinya) yang lebih muda dari pada kedua anaknya, Orkhan
yang berusia 42 tahun, yang lebih dididik seorang prajurit dibawah pengawasan
ayahnya, dan telah menunjukan kemampuannya didalam banyak peperangan, terutama
didalam penaklukan Brusa.
Kerajaan Utsmani sangat gencar
melakukan ekspansi guna meluaskan kekuasaannya, sehingga pada masa Orkhan
sebagian dari wilayah Eropa telah ditundukan. Kerajaan ini telah mencapai
gemilang bermula sejak awal abad ke 16 sewaktu Salim mengalahkan kekuatan
Syafawi dan meluaskan wilayah keselatan sampai Mesir dan Hijaz. Kawasan ini
memiliki arti penting dalam kehidupan keagamaan umat Islam secara umum.
Wilayah kekuasaan Utsmani sejak abad
ke 16 sangatlah luas, membentang dari Budepest Yaman, dibagian selatan dan dari
Basrah dibagian timur hingga ke Aljajair dibagian barat itu, dibagi dalam
beberapa provinsi yamg masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur atau pasha.
Dibagian Utara sampai abad ke 17, Turki Utsmani menikmati masa keemasan.
Kekuatan militer Utsmani yang sangat tangguh menunjukan stabilitas kekuasaan.
Kejayaan Utsmani mulai kelihatan pudar setelah sultan sulaiman meninggal dunia,
yang mengakibatkan terjadinya perebutan kekuasaan antara putra-putranya.
Pada awal abad ke 18, Turki Utsmani
berusaha mengembalikan kejayaan dengan melakukan reform yang sangat gencar.
Bahkan Sultan Salim III (w. 1807) membuka sejumlah kedutaan Utsmani di Eropa.
Kemudian Mahmud II (w. 1839) memperkenalkan berbagai lembaga pembaharuan yang
banyak diilhami dari Barat, termasuk pendidikan, militer, ekonomi dan hukum.
Priode ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai priode “Reorganisasi”.
Berbagai usaha pembaharuan terus dilakukan oleh orang-orang Turki, baik dari
kalangan ulama, kaum muda, cendikiawan maupun birokrat hingga abad ke 20.
Kerajaan Utsmani yang menjadi simbol
Islam akhirnya hilang dari peredaran dunia dengan dihapusnya gelar khalifah
tersebut. Dibawah kekuasaan Musthafalah pengaruh kekuasaan Sultan berakhir
ditahun 1922, dan segera setelah itu khalifah sebagai institusi agamapun
dihapus sehingga Musthafa sebagai pemimpin besar menjadi presiden pertama dari
republik Turki baru. Dengan demikian berakhirlah kehidupan panjang dan seluruh
kebesaran seluruh pemerintahan baru.[4]
B.
Pendidikan
Pada Masa Turki Utsmani
Setelah mesir jatuh dibawah
kekuasaan Utsmaniyah Turki, lalu Sultan Salim memerintahkan, supaya kitab-kitab
diperpustakaan dan barang-barang yang berharga di Mesir dipindahkan ke
Istanbul. Anak-anak Sultan Mamluk, Ulama-Ulama, Pembesar-Pembesar yang
berpengaruh di Mesir, semuanya dibuang ke Istambul, setelah mengundurkan diri
sebagai khalifah dan menyerahkan pangkat khalifah itu kepada Sultan Turki.
Dengan berpindahnya ulama-ulama dan
kitab-kitab perpustakaan dari Mesir ke Istanbul, maka Mesir menjadi mundur
dalam ilmu pengetahuan dan pusat pendidikan berpindah ke Istanbul, tempat
kedudukan Sultan dan Khalifah dan Istambullah yang menjadi pusat pendidikan dan
kebudayaan saat itu.
Selain itu Sultan Salim mengumpulkan
kepala-kepala perusahaan yang termashur di Mesir berjumlah kurang lebih 1000
orang. Mereka semua dipindahkan ke Istambul, Mesir terpaksa ditutup. Itulah
salah satu sebab mundurnya perusahaan diMesir pada masa Utsmaniyah Turki.
Setelah Sultan Salim wafat, lalu
digantikan oleh anaknya Sultan Sulaiman Al-Qanuni (926-974 H). Pada masa Sultan
Sulaiman itu kerajaan Utsmaniyah sampai kepuncak kebesaran dan kemajuan yang
gilang gemilang dalam sejarahnya. Laut putih tengah, laut hitam, dan laut merah
semua dalam kekuasaannya. Luas negaranya dari Makkah ke Budapes dan dari
Baghdad ke Aljazair. Tetapi sesudah wafat Sultan Sulaiman kerajaan Utsmaniyah
mulai mundur sedikit demi sedikit.
Pada masa Utsmaniyah Turki
pendidikan dan pengajaran mengalami kemunduran, terutama diwilayah-wilayah, seperti
Mesir, Baghdad dan lain-lain. Yang mula-mula mendirikan madrasah pada masa
Utsmaniyah Tuki ialah Sultan Orkhan (wafat tahun 761 H. = 1359 M.). Kemudian
diikuti oleh Sultan-Sultan keluarga Utsmaniyah dengan mendirikan
madrasah-madrasah, yang didirikan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Sultan-sultan
pada masa Utsmaniyah banyak mendirikan masjid-masjid dan madrasah-madrasah
terutama di Istambul dan Mesir. Tetapi tingkat pendidikan itu tidak mengalami
perbaikan dan kemajuan sedikitpun. Tiap-tiap orang bebas membaca dan
mempelajari isi kitab itu. Bahkan banyak pula ulama, guru-gru, ahli sejarah dan
ahli syair pada masa itu. Tetapi mereka-mereka itu hanya mempelajari
kaidah-kaidah ilmu-ilmu Agama dan Bahasa Arab, serta sedikit ilmu berhitung
utuk membagi harta warisan dan ilmu miqat untuk mengetahui waktu sembahyang.
Mereka tidak terpengaruh oleh pergerakan ilmiyah di Eropa dan tidak mau pula
mengikuti jejak zaman kemajuan Islam pada masa Harun Ar-Rasyid dan masa
Al-Makmun, yaitu masa keemasan dalam sejarah Islam. Demikianlah keadaan
pendidikan dan pengajaran pada masa Utsmaniyah Turki, sampai jatuhnya sultan
/khalifah yang terakhir tahun 1924 M.[5]
Sistem pengajaran yang dikebangkan
pada Turki Utsmani adalah menghafal matan-matan meskipun murid-murid tidak
mengerti maksudnya, seperti menghafal Matan Al-Jurmiyah, Matan Taqrib, Matan Al-Fiyah,
Matan Sultan, dan lain-lain. Murid-murid setelah menghafal matan-matan itu
barulah mempelajari syarahnya. Karena pelajaran itu bertambah berat dan
bertambah sulit untuk dihafalkannya. Sistem pengajaran diwilayah ini masih
digunakan sampai sekarang. Pada masa pergerakan yang terakhir, masa pembaharuan
pendidikan Islam di Mesir dan Syiria (Tahun 1805 M) telah mulai diadakan
perubahan-perubahan di sekolah-sekolah (Madrasah) sedangkan di Masjid masih
mengikuti sistem yang lama.[6]
Badri Yatim memberikan gambaran
tentang kondisi ilmu pengetahuan pada masaTurki Utsmani sebagai berikut.
“Sebagai bangsa yang berdarah
militer, Turki Utsmani lebih banyak mefokuskan kegiatan mereka dalam bidang
kemiliteran, sedangkan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka kelihatan tidak
begitu menonjol. Karna itulah dalam khazanah Intelektual Islam kita kita tidak
menemukan ilmuan terkemuka dari Turki Usmani. Namun demikian mereka banyak
berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan
masjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammmadi, atau Masjid Jami Sultan
Muhammad Al-Fatih, Masjid Agung Sulaiman Dan Masjid Abi Ayyub Al-Anshari.
Masjid-masjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu
masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid asalnya gereja
Aya Sofia. Hiasan kaligrafi itu dijadikan penutup gambar-gambar kristiani yang
ada sebelumnya.”[7]
Meskipun pada masa Turki Utsmani
pendidikan Islam kurang mendapat perhatian yang serius dan juga terhambat
kemajuannya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tiap-tiap masa pasti akan
memunculkan tokoh-tokoh atau ulama-ulama kenamaan. Walaupun jumlah ulama pada
masa itu tidak sebanyak pada masa Abbasiyah yang merupakan puncak keemasan
Islam.[8]
C.
Sistem
Pengajaran di Turki
Sistem pengajaran pada masa Turki
seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu dengan cara menghafal matan-matan,
seperti menghafal Matan Ajrumiyah, Matan Taqrib, Matan Alfiyah, Matan Sullan
dan lain-lain.
Adapun tingkat-tingkt pengajaran di
Turki adalah sebagai berikut:
1.
Tingkat
Rendah (S.R.) 5 tahun
2.
Tingkat
Menengah (S.M.P.) 3 tahun
3.
Tingkat
Menengah Atas (S.M.A.) 3 tahun
4.
Tingkat
tinggi (Universitas) 4 tahun
Dikelas IV dan
V S.R. diajarkan ilmu Agama jika mendapatkan izin dari orang tua murid. Begitu
juga diajarkan agama dikelas III Sekolah Menengah (S.M.P.) jika diminta oleh
orang tua murid.
Selain itu ada
juga sekolah Imam Chatib (sekolah agama) 7 tahun, 4 tahun pada tingkat menengah
pertama dan tiga tahun pada tingkat menengah atas. Murid-murid yang diterima
masuk sekolah imam chatib itu ialah murid-murid tamatan S.R 5 tahun. Untuk
melanjutkan dari sekolah Imam Chatib didirikan Institut Islam di Istambul pada
tahun 1959, dan pengajarannya berlangsung selama 4 tahun.
Dasar-dasar
pengajarannya adalah sebagai berikut:
1.
Tafsir
2.
Hadis
3.
Bahasa
Arab
4.
Bahasa
Turki
5.
Filsafat
6.
Sejarah
Kebudayaan Islam
7.
Ilmu
Bumi.[9]
D.
Ulama-ulama
yang Termashur Pada Masa Utsmaniyah Turki
Ulama-ulama yang termashur pada masa
Utsmaniyah Turki diantaranya yaitu:
1.
Syeikh
Hasan Ali Ahmad As-Syafi’I yang dimasyhurkan dengan Al-Madabighy,Jam’ul Jawami
dan syarah Ajrumiyah (wafat tahun 1170 H. = 1756M.) pengarang hasiyah
2.
Ibnu
Hajar Al-Haitsami (wafat tahun 975H. = 1567M.) pengarang Tuhfah.
3.
Syamsuddin
Ramali (wafat tahun 1004H. = 1959H.) pengarang Nihayah.
4.
Muhammad
bin Abdur Razak, Murtadla Al-Husainy Az-Zubaidy, pengarang syarah Al-Qamus,
bernama Tajul Urus (wafat tahun 1205H. = 1790M.)
5.
Abdur
Rahman Al-Jabarity (wafat tahun 1240H. = 1825M.), pengarang kitab tarikh mesir,
bernama Ajaibul-Atsar Fit-Tarajim Wal-Akhbar.
E.
Perpustakaan
Pada Masa Utsmaniyah Turki
Perpustakaan pada masa kemajuan
Islam tidak terhitung banyaknya diseluruh Negara Islam, baik perpustakaan umum
maupun perpustakaan khusus. Hampir diseluruh masjid dan madrasah-madrasah ada
perpustakaan yang berisi bermacam-macam ilmu, terutama ilmu-ilmu Agama dan
bahasa Arab.
Pada masa Utsmaniyah Turki, masa
kemunduran pendidikan dan pengajaran Islam, perpustakaan sangat berkurang,
hanya terdapat di Istambul dan sedikit di Mesir, Damsyik, Halab, dan Qudus. Jumlah
perpustakaan pada masa itu kurang lebih 26 buah, 22 buah di Istambul dan 4 buah
diluarnya. Jumlah kitab dalam perpustakaan itu kurang lebih 30.000 kitab.
KERAJAAN SYAFAWI
A.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Syafawi
Kerajaan Safawi berdiri setelah kerajaan Turki
Usmani mencapai puncak kejayaan. Kerajaan safawi berasal dari tarekat yang
berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Nama Safawiyah diambil dari
pendirinya yang berrnama Safi al-Din (1252-1334). Safi al-Din merupakan
keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya, dan juga
keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, Musa al-Khazim. Gurunya bernama Syekh
Taj al-Din Ibrahim Zahidi yang sering dikenal dengan Zahid al-Gilani. Karena
prestasinya ia diambil menantu oleh gurunya. Ia mendirikan tarekat Safawiyah
setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301
M. Safi al-Din mengubah bentuk tarekat
itu dari pengajian tasawuf menjadi gerakan yang besar pengaruhnya di Persia,
Syria, dan Anatoli.
Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan
menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan pada masa kepemimpinan
Juneis (1447-1460). Perluasan gerakan ini menimbulkan konflik antara Juneis dan
penguasa Kara Koyuntu (Domba Hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa
di wilayah itu. Dalam konflik itu Juneid kalah dan diasingkan di suatu tempat.
Di tempat baru ia mendapatkan perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK Koyunlu
(Domba Putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal didistana Uzun Hasan
yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.
Selama dalam pengangsingan ia menghimpun
kekuatan untuk beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan, ia juga berhasil
mempersunting salah seorang saudara Uzun Hasan. Pada tahun 1459 Juneid mencoba
merebut Ardabil tapi gagal. Pada tahun 1460 ia mencoba merebut Sircassia namun
gagal dan ia tewas.
Usaha pembentukan dinasti Safawi baru berhasil
pada zaman Ismail. Pada tahun 1501 M pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan
AK Koyunlu di Shafur. Dan berhasil menaklukan dan mendudukinya Tibris, ibu kota
AK Koyunlu. Di kota inilah Ismail memproklamasikan berdirinya dinasti Safawi,
dan mengangkat dirinya sendiri sebagai raja pertama, yang sering disebut dengan
Ismal I
B.
Keadaan Sistem Pendidikan
Dalam sejarah Islam tercatat bahwa bangsa
Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa
mengembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga pada masa Kerajaan Safawi tradisi
keilmuan terus berlanjut. Dapat dikatakan Kerajan Safawi lebih berhasil dari
dua kerajaan Islam lainnya pada masa yang sama, yakni Kerajaan Turki Usmani dan
Kerajaan Mughal di India.
Terdapat sejumlah ilmuwan yang selalu hadir di
majelis istana, yaitu Baha al-Din al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan,
Sadar al-Din al-Syaerazi seorang filsuf, dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad,
seorang filsuf, ahli sejarah, teolog, dan seorang yang pernah mengadakan
observasi mengenai kehidupan
lebah-lebah.
Puncak kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan
dan pendidikan Kerajaan Safawi terjadi pada zaman Syah Abbas I. Hal ini dapat
terlihat dari segi fisik material, yaitu keberhasilannya dalam membangun 162
masjid dan 48 pusat pendidikan. Versi lain menyebutkan 162 masjid dan 446
sekolah.
Sekolah dan lembaga pendidikan tersebut
sebagian besar dibangun atas perintah inisiatif para kerabat kerajaan. Beberapa
diantaranya adalah Dilaram Khanum (nenek dari Syah Abbas II) yang mendirikan
madrasah yang disebut small grandmother (nenek kecil) pada tahun
1645-1946, dan madrasah (large grandmother) pada tahun 1647-1648. Kedua
madrasah ini diwakafkan sebagai dedikasinya pada pendidikan. Selain itu
terdapat pula putri Syah Safi, yakni Maryam Begum yang mendirikan madrasah pada
tahun 1703-1704 M. Selanjutnya Shahr Banu, adik perempuan Syah Husain
mendirikan madrasah bagi para pangeran.
Selain mendirikan madrasah, dinasti Safawi juga
membangun kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang termasuk didalamnya pembangunan
dalam bidang filsafat yang berlanjut hinga zaman modern. Sisa-sisa pembangunan
ilmu pengetahuan dan peradaban dinasti Safawi ini masih dapat dijumpai di
berbagai kota di Iran. Misalya di kota Qum, terdapat berbagai perguruan tinggi,
universitas, serta tempat-tempat ilmiah lainnya, juga terdapat berbagai
perpustakaan yang menyimpan berbagai karya-karya penelitian ilmiah dan juga
manuskrip yang terus diteliti dan dikembangkan oleh pentahkik. Di Mashhad
terdapat masjid besar yang mengelilingi makam Imam Ali Ridha (Imam ketujuh
Syiah Istna Asyariah) dan terdapat perpustakaan besar yang menyimpan karya
ilmiah sekitar satu juta buku. Seluruh buku tersebut dibuatkan mikrofilmnya dan
dikubur dibawah tanah, untuk mengantisipasi jika terjadi musibah kebakaran,
sehingga buku-buku tersebut dapat diselamatkan.
Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini
banyak berkaitan dengan pemikiran teosofi dan filsafat, dan bukan ilmu
pengetahuan dalam pengertian secara umum. Pemikiran teosofi dan filsafat
tersebut lebih ditujukan sebagai penyatuan antara sufisme Gnostik dan beberapa
kepercayaan Syi’i. Hal itu berlangsung selama dua abad, yakni abad ke-16 hingga
17 M. Kajian yang menekankan sufisme Gnostik ini dapat dimengerti karena
dinasti Safawi dibangun oleh para tokoh ahli tasawuf. Selanjutnya pemikiran
tasawuf itu menjadi dasar bagi pengembangan penelitian dan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Pembelajaran di dinasti Safawi dengan
menanamkan lebih dalam tentang prinsip-prinsip Syi’ah dua belas. Hal itu
dilakukan dengan menyusun sebuah konsep tentang filsafat ajaran Syi’ah.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Mir Damad dan muridnya yang bernama Mulla
Sadra, dengan cara memadukan antara keterangan yang terdapat dalam kitab suci,
telogi, dan refleksi untuk merumuskan sebuah versi Syi’i tentang sufisme dan
untuk membangun sebuah basis filsafat terhadap kesadaran keagamaan secara
individual dan untuk membentuk loyalitas umat Syi’i terhadap
para imam. Aliran baru ini menggabungkan antara iluminasionisme Suhrawardi
dengan perkataan Ali dan para imam, unsur-unsur filsafat Yunani, dan beberapa
ajaran Ibn Arabi. Kebijakan baru ini cenderung mengarah pada tradisi
neo-platonik dari para Aristotelian Yunani dan filsafat Muslim. Pada masa ini
juga berkembang aliran filsafat Peripatetic yang dekat dengan mazhab
Aristoteles dan al-Farabi, serta filsafat Ishraqi yang dekat dengan filsafat
Sahrawardi.
Pendidikan di zaman dinasti Safawi juga
dibuktikan oleh adanya toleran dan kebebasan berpendapat, walaupun pendapat
tersebut tidak sejalan dengan pendapat yang dianut khalifah. Kendati demikian
kerasnya indoktrinasi pada masa dinasti Safawi, namun pada periode Syah Abbas
II kemerdekaan berpikir atau liberalitas intelektual pernah memperoleh
momentumnya. Adanya perbedaan paham yang ada di masyarakat diletakkan dibawah
supremasi keadilan. Hal tersebut justru sesuai dengan salah satu prinsip dasar
dalam ajaran mazhab Syi’ah yakni prinsip al-adl.
Selain itu pada dinasti Safawi wanita selain
memperoleh kebebasan dalam mengekspresikan dan memainkan peranannya dalam
berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya juga
memperoleh perhatian dalam mendapatkan pendidikan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kerajaan turki utsmani merupakan
kerajaan yang dipimpin oleh 40 sultan. Pada abad pertengahan memang masa yang
paling bersejarah bagi bangsa arab, bahkan kemunduran bagi bangsa barat, dalam
segi pandang kerajaan, kekuasaan wilayah adalah yang terpenting. Turki utsmani
yang memimpin selama kurang lebih 6 abad memberikan bukti kejayaannya sampai ke
Eropa, akan tetapi dari stagnanisasi bangsa utsmani mereka lebih memajukan
kemiliteran mereka dari pada pendidikannya, bagi mereka kemiliterannya adalah
satu hal yang terpenting yang harus dimiliki leh seorang pemimin, dengan
orientasi penalukan konstantinopel, membuat mereka menjadi bersemangat untuk
menjadikan kerajaan turki utsmani menjadi symbol kejayaan islam.
Penyimpangan orientasi mereka ini
membuat terlena dengan keluasan wilayah sehingga membuat mereka meninggalkan
perkembangan pendidikan mereka. Berbeda dengan bangsa Eropa yang telah
mengugguli mereka, kemunduran kerajaan turki utsmani ini terlihat dari bagian
bagian wilayah yang dikuasai oleh turki utsmani ini mulai tergerak ingin
merubah hidupnya menjadi yang lebih baik dan muncul paham kapitalisme
individual sehingga sebagian mereka ingin melepaskan diri. Tampaknya pengaruh barat mulai mendapatkan
hasil dengan kelemahan kerajaan turki ini, dan terlahir paham-paham yang ingin
membebaskan, sehingga paham turki sendiri tidak dapat menghalangi mereka.
DAFTAR PUSTAKA
http://kerajaansafawiyah.blogspot.co.id/
http://kerajaansafawiyah.blogspot.co.id/
http://wartasejarah.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa.html#!/tcmbckBAB
I
http://ahareyy.blogspot.co.id/2013/06/pola-pendidikan-pada-masa-turki-usmani.html
[1]Lihat
Ensiklopedi Islam, Vol. 2, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1999), cet.
VI, hlm. 4-5.
[2]Lihat
Ensiklopedi Islam, Vol. 2, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1999), cet.
VI, hlm. 6.
[3]Hasan
Ibrahim Hasan, Tarikh al-daulah al-fathimiyah, (Mesir, 1957), cet. II, hlm.
426.
[4]Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) h.
272-274
[5]Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989),cet ke.5,
h. 164-165
[6]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 276
[7]Badri
Yartim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994). 126
[8]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 171
[9]Mahmud Yunus, Perbandingan Pendidikan Modern di Negara Islam dan
Intisari Pendidikan Barat, (Jakarta: C.v. Al-Hidayah, 1968), h. 124-125
0 komentar:
Post a Comment