BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran ialah kalam Allah yang mengandung Mukjizat di turunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril yang tertulis dalam mushaf disampaikan dengan jalan mutawatir
membacanya mendapatkan pahala yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat an-Nas[1] dan dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek
kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman
Al-Quran dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang
tercangkup dalam Ulumul Quran
dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan. Ulumul
Quran adalah ilmu yang membahas berbagai keilmuan yang ada dalam al-Quran baik yang menerangkan tentang ‘Am
dan Khas, Nasikh Mansukh dan ada juga yang menerangakan tentang
ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabbih. dalam masalah Muhkam dan Mutasyabbih banyak perbedaan ulama tentang apakah semua ayat yang
terkandung dalam al-Quran semuaya merupakan ayat yang Muhkam atau Mutasyabbih. Karna itu kami akan menjelaskan tentang Muhkam dan Mutasyabbih dengan detail menurut kami, dengan beragai refrensi
yang kami dapatkan.
Persoalan yang mendasar dalam pembahasan Muhkam dan Mutasyabih
ialah, terlatak pada Q.S. Ali Imran: 7;
هو الذي أنزل عليك الكتاب
منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات) ).
Pada ayat inilah terjadi kontroversial sepanjang sejarah[2].
Banyak karya tulis atau kitab-kitab tafsir yang mengulas masalah ini. Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisaburi pernah mengemukakan tiga
pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap muhkam-mutasyabih.
Pertama, seluruh
ayat Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah: كتاب أحكمت آياته
Kedua,
seluruh ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah : كتاباً متشابهاً
Ketiga,
pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu
muhkan dan mutasyabih berdasarkan firman Allah:
Muhkam Mutasyabih hendaknya dapat dipahami secara
mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek dalam
kajian/pemahaman Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an ada kalimat yang jelas (muhkam)
dan yang belum jelas (mutasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Qur’an terdapat perbedaan-perbedaan.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi
dari Muhkam dan Mutasyabih?
2. Faktor adanya ayat yang Muhkam dan Mutasyabih?
3. Apa pendapat
ulama dalam memahami ayat-ayat yang Mutasyabih?
4. Ada berapa
macam-macam ayat-ayat Mutasyabihat?
5. Apa hikmahnya
adanya ayat-ayat Muhkamat?
6. Apa hikmahnya
adanya ayat-ayat Mutasyabihat?
C. Tujuan
Pembelajaran
1. Dapat
mengetahui definisi
dari Muhkam dan Mutasyabih.
2. Dapat mengetahui faktor adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih.
3. Dapat
membedakan bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Mutasyabih.
4. Dapat mengetahui macam-macam ayat-ayat Mutasybihat.
5. Dapat mengetahui hikmah adanya ayat-ayat Muhkamat.
6. Dapat mengetahui hikmah adanya ayat-ayat mutasyabihat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Muhkam dan Mutasyabih
Secara etimologis muhkam
berasal dari kata hakama yang mempunyai makna “mana’a” . seperti حكمت الدبة “ saya menahan binatang itu dengan Hikmah”.
kata Hakama ini mempunyai arti
kendali yang dipasang pada leher, Jika dikatakan “أحكمتها”
artinya ”جعلت
لها حكمه” yaitu aku pasang kendali
pada binatang itu agar tidak bergerak liar. Dari
pengertian inilah lahirlah kata hikmah, karna ia dapat mencegah pemiliknya dari
hal-hal yang tidak pantas.[4]
Muhkam berarti suatu yang dikokohkan.
Ihkamul al-Kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan
berita-berita yang benar dari yang salah. jadi, Kalamu Muhkam perkataan
yang seperti itu sifatnya, tidak ada perubahan. Dengan pengertian inilah yang
menyebabkan timbulnya golongan yang mengatakan bahwa al-Qur’an seluruhnya Muhkam
berdasarkan firman Allah Q.S. Hud: 1;
الركتب أحكمت أيته ثم فصلت من لدن حكيم خبير
Artinya: “Alif lam Ra. Inilah ayat-ayat
al-Qur’an yang mengandung Hikmah”
Dengan demikian, secara al-Ihkam al-‘am
atau Muhkam dalam artian umum berarti “Qur’an itu seluruhnya Muhkam”
maksudnya al-Qur’an itu kata-katanya kokoh, fasih dan yang membedakan antara
yang haq dan yang batil dan antara yang benar dan salah.[5]
Sedangkan secara etimologis, mutasyabih berarti tasyabuh, hakikatnya adalah keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal.
Misalnya dari segi warna dan rasa.Apabila diantara dua hal tidak bisa dibedakan
karena adanya kemiripan antara keduanya disebut asy-syubhan.Misalnya tentang
buah-buahan di surga (Q.S Baqarah 2: 25)
وأتوا به متشابهات
“artinya: Buah-buahan di surga itu
satu sama lain serupa warnanya bukan rasa dan hakikatnya”.
”Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamatsil (sama) dalam perkataan dan
keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian
perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagai yang lain. Inilah yang
menjadi dasar oleh ulama yang mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an adalah
Mutasyabih. Dengan pengertian seperti
itulah Allah SWT mensifati Al-Qur’an bahwa
keseluruhan ayat-ayatnya adalah mutayabihah seperti diterangkan dalam
firman-Nya dalam Q.S Az-Zumar 39: 23 yang artinya:
الله نزل أحسن كتابا متسابها مثاني
“ Allah telah menurunkan perkataaan yang paling baik yaitu Al-Qur’an yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang ulang. . . “
Dengan demikian, maka “al-Qur’an itu seluruhnya
adalah Mutasyabih”. Maksudnya al-Qur’an selurunya Mutasyabih
ialah sebagian kandunganya serupa dengan yang lain baik dalam kesempurnaa dan
keindhannya.[6].
Dalam uraian di atas jelas bahwa dalam
Al-Qur’an seluruhnya adalah Muhkam dan Mutasyabih. Tidak demikian halnya
jika kita menilainya dari terminologis, karena sebagai ayat-ayat Al-Qur’an Muhkamat
dan sebagian lagi Mutasyabihat sebagaimana dalam firman Allah SWT Q.S Ali
‘Imran ayat 7:
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر
متشابها Artinya: “Dia-lah yang Menurunkan Kitab (al-Quran) kepadamu (Muhammad). Di
antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat”.
Itulah pokok-pokok Kitab
(al-Quran) dan yang lain Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti
yang Mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan
orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami
beriman kepadanya (al-Quran), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”[7].
Sedangkan menurut termonologis, para ulama
berbeda-beda pendapat dalam member pengertian Muhkam dan Mutasyabih,
yakni sebagai berikut:
1.
Pendapat yang dipilih oleh Ahl as-Sunnah yaitu,
lafadz Muhkam adalah lafadz yang diketahui makna dan maksudnya, baik
karna memang sudah jelas maupun karna di takwilkan. Sedangkan lafadz yang Mutasyabih
ialah, lafadz yang pengetahuan artinya hanya dimonopoli oleh Allah. Manusia
tidak ada yang bias mengetahuinya. Contohnya seperti terjadinya hari
kiamat,keluarnya Dajjal dan huruf Muqatta’.
2.
Definisi dari Ibnu Abbas. Muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna. Sedangkan Mutasyabihat adalah ayat yang
mengandung pengertian bermacam-macam. Seperti Surga
dan Neraka.
3.
Ayat-ayat Al-Qr’an yang Muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal,
haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib diimani dan diamalkan.adapun Mutasyabihat ayat yang padanya
terdapat mansukh, dan qasam (sumpah) serta yang wajib diimani tetapi tak wajib
di amalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud. Definisi ini dinisabatkan kepada Ibnu Abbas.[8]
4.
Ada yang berpendapat dari golongan as-Safi’iy bahwa ayat yang Muhkam
ialah ayat yang tidak perlu ditakwil. Sedangkan ayat yang Mutasyabih
ialaah ayat yang untuk memahaminya perlu ditakwil.[9].
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat yang Muhkam
dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Seperti halal dan
haram, kewajiban dan larangan serta janji dan ancaman. Contoh:
Artinya “ Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”
Sementara ayat-ayat yang Mutasyabih,
para ulama memberikan contoh dengan nama-nama Allah dan sifat-sifatnya.
Contoh:
يدالله فوق
أيديهم
Artinya: “tangan Allah di atas tangan-tangan
mereka”[11].
B.
Faktor adanya
ayat yang Muhkam dan Mutasyabih
Adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih
dalam al-Qur’an merupakan perdebatan yang sangat menarik. Perdebatan ini
dilator belakangi oleh pemahaman para ulama tafsir terhadap Q.S. Hud: 1, Q.S.
az-Zumar: 23 dan Q.S. Ali Imran: 7. Disini kami akan mencantumkan beberapa
penyebab adanya ayat yang Muhkam dan Mutaasyabih.
Penyebab adanya ayat yang Muhkam,
dikarnakan ayat-ayatnya tersusun rapi, urut, sehingga mudah untuk memahaminya
serta tidak samar artinya. Sedangkan penyebab adanya ayat Mutasyabih
adalah sebagian kandungannya serupa dengan yang lain dalam kesempurnaan dan
keindahannya. Karna itu al-Qur’an secara utuh memuat ayat yang Muhkam
dan Mutasyabih.
Adanya ayat yang Mutasyabih sekitar ada
tiga factor.
1.
Kesamaran dalam lafadz
a)
Kesamaran dalam lafadz mufrad
Lafadz mufrad yang tidak jelas artinya, baik
disebabkan oleh lafadz yang gharib, maupun mushtarak. Termasuk huruf
al-Muqatta’ah di awal surat. Contoh: Q.S. Saffat: 93
فراغ عليهم ضربا
باليمين
Artinya : “lalu dihadapinya berhala-berhala
itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya/kekuatannya/sesuaidengan sumpahnya”
Lafadz اليمين
adalah lafadz yang mustharak. Ketiga makna tersebut relevan, makna
ketiga (sumpah) dijelaskan oleh Q.S. al-Anbiya’ : 57;
والله لأكيدن
أصنامكم بعدأن تولوا مدبرين
Artinya : “demi Allah, sungguh aku akan
melakukan rekayasa terhadap berhala-berhala kalian, sesudah kalian pergi meninggalkannya”.
b)
Kesamaran dalam lafadz murakkab
Kesamaran lafadz yang tersusun dalam kalimat
tersebut terlalu ringkas atau terlalu luas dan bahkan kurang tertib. Contoh
Q.S.an-Nisa’: 3;
وان حفتم الا
تقسطوا في اليتمى فنكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع
Seandainya ayat tersebut diperpanjang sedikit
dengan menambah lafadz misalnya;
وان حفتم الا
تقسطوا في اليتمى لو تزوجتموهن فانكحوا ما
طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع
Dengan tambahan tersebut akan menjadi lebih
jelas, yakni bahwa jika seseorang hawatir tidak berlaku adil terhadap hak-hak
istrinya yang yatim, dimana dia harus menjaga status hartanya, maka sebaiknya
menukah dengan perempuan yanglain, bukan yatim, karna lebih bebas, sedikit
penjagaannya terhadap hak-haknya.[12]
2.
Kesamaran pada makna ayat
Maknanya allah yang tau, seperti suasana dan
kondisi hari kiamat, kemikmatan surga, sakitnya siksa neraka. Akal manusia
tidak bias menjangkaunya. Kesamaran ini bukan dari lafadznya tapi dari
maknanya. Sebagaimana pernyataan Hadist;
مالاعين رأت ولا
أّذن سمعت ولا خطر في قلب البشر
3.
Kesamaran pada lafadz dan maknyanya
Lafadz dan makna yang samar sehingga membuat
ayat tersebut membutuhkan penakwilan. Contoh Q.S. at-Taubah: 5;
فقتلوا المشركين
حيث وجدتموهم
Lafadz disini kesamarannya terletak pada
lafadznya yang terlalusingkat dan dari segi maknanya kesamarannya terletak pada
batas kuantitas orang-orang musyrik yang harus dibunuh.[13].
C.
Kontradiksi
dalam memahami Mutasyabih
Permaslahan yang telah kami sebutkan diawal
mengenai ayat-ayat yang Muhkam dan ayat-ayat yang Mutasyabih,
ternyata dalam Mutasyabih sendiri masih ada kontadiksi antara ulama.
Permasalahn tersebut bermula pada masalah waqaf yang ada pada ayat:
وما يعلم تأويله
الاالله والراسحون في العلم يقولون أمنا به
Apakah kedudukan lafadz والراسحون في العلم
dijadikan mubtada’ dan lafadz يقولون dijadikan khobar, dengan waw dijadikan
sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafadz وما يعلم تأويله الاالله? Ataukah wawnya
dijadikan ma’tuf sedangkan lafadz يقولون
dijadikan hal dan waqafnya terletak pada lafadz والراسحون
في العلم?
Menurut pendapat yang pertama, yang diikuti
oleh para ulama, diantaranya Ubay bin Ka’ab, ibn Mas’ud, sejumlah sahabat dan
tabi’in yaitu, waqafnya terletak pada lafadz وما يعلم
تأويله الاالله . goleongan ini menyatakan bahwa dalam al-Qur’an ada ayat-ayat
yang maknanya hanya diketahui oleh allah. Adanya pemahaman ini dikarenakan
adanya pemedaan antara tafsir dan ta’wil yang diungkapkan oleh Muqotil. Beliau
mengatakan bahwa tafsir adalah bentuk pemahaman para ulama terhadap ayat-ayat
yang Mutasybih tersebut. Sedangkan ta’wil adalah bentuk penafsiran yang
maknanya hanya diketahui oleh allah.
Pendapat yang kedua mengatakan waqafnya
terletak pada lafadz والراسحون في العلم.
Pendapat ini dikemukakan oleh golongan yang tidak membedakan antara tafsir dan
takwil yang dipelopori oleh Mujahid. Pendapat ini didukung oleh segenap ulama
diantaranya ialah, imam Nawawi. Dalam syarah Muslimnya beliau mengatakan bahwa
pendapat inilah yang paling shahih, dikarnakan Allah tidak mungkin menyeru
hambanya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui.[14]
D.
Macam-macam
ayat Mutasyabihat.
1.
Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh allah,
seperti datangnya hari kiamat, Dzat Allah, hakiakat sifat-sifatnya dan
lain-lain.
2.
Ayat yang diketahui oleh semua orang yang
mengkajinya, mendalaminya dengan cara membahasnya, seperti memerinci yang
mujmal dan lai-lain.
3.
Ayat yang hanya diketahui oleh para pakar sain,
seperti unsure paling kecil dalam bumi.[15]
E.
Hikmah adanya
ayat Muhkamat
1.
Menjadi rahmat bagi manusia, khusunya bagi yang
kemampuan bahasa arabnya lemah.
2.
Memudahkan bagi manusia mengetahui artinya.
F.
Hikmah adanya
ayat Mutasyabihat
1.
Ayat-ayat
yangmaknanya hanya diketahui oleh Allah
a)
sebagai rahmat Allah. Allah tidak menyebutkan
kapan datangnya hari kiamat didalam al-Qur’an, supaya mereka tetap waspada dan
menyiapkan untuk menghadapinya.[16]
b)
Sebagai cobaan, apakah dia akan tetap beriman
atu tidak.
c)
Sebagai bukti bahwa Allah maha kuasa dan
manusia hanya mahluk ynag lemah yang kemampuannya terbatas.[17]
2.
Ayat-ayat
Mutasyabihat yang mungkin diketahui maknanya
a)
Mendorong pada pembaca unruk lebih berusaha
memahami yang ia baca.
b)
Memperlihatkan antara orang yang berilmu dan
yang tidak mempunyai ilmu.
c)
Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu
yang bermacam-macam.[18]
Maha basar Allah yang telah menurunkan Mukjizat
terbesar yang disampaikan pada nabi Muhammad yang kemudian dijadikan pedoman
utama dalam segala ilmu. Adanya ayat-ayat yang Muhkam merupakan anugrah
dari Allah supaya manusia bias mengerti dengan seminimal mungkin. Sedangkan
adanya ayat-ayat yang Mutasyabih merupakan anugrah juga bagi orang yang
berilmu ketika ayat tersebut bias difahami oleh golongan manusia dan sebagai
cobaan jika ayat tersebut hanya Allahlah yang mengetahuinya.
BAB III
KESIMPULAN
[1] Tim
penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, studi al-Qur’an, cetakan 1 (Surabaya:
IAIN SA press, 2011), halaman 3-4
[2] Tim
penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, studi al-Qur’an, cetakan 1 (Surabaya:
IAIN SA press, 2011), halaman 236
[3] Maktabah
syamilah, al-Itqon fi ‘ulumi al-Qur’a, juz 1 halaman 231
[4]
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, studi al-Qur’an, cetakan 1 (Surabaya:
IAIN SA press, 2011), halaman 237
[5]
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, studi al-Qur’an, cetakan 1 (Surabaya:
IAIN SA press, 2011), halaman 238
[6] Ibid 238-239
[7] Ibid
240-241
[8]
Ibid 241-242
[9] Maktabah
syamilah, al-Itqon fi ‘ulumi al-Qur’a, juz 1 halaman 231
[10]
Al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 275
[11]
Al-Qur’an surat al-Fath ayat 10
[12] Ibid 247
[13] Ibid 248
[14] Ibid 249-250
[15] Ibid 249-251
[16]
Drs. H. Ramli Abdul Wahid, M.A. Ulumul Qur’an cetakan pertama (Jakarta:
LKIS)
Halaman 112
[17]
Drs. H. Ramli Abdul Wahid, M.A. Ulumul Qur’an cetakan pertama (Jakarta:
LKIS)
Halaman 112
[18]
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, studi al-Qur’an, cetakan 1 (Surabaya:
IAIN SA press, 2011), halaman 254
0 komentar:
Post a Comment